Jadikan ORMAS dan MAZHAB itu sebagai sekolah dan Amal Usaha

Hampir dapat dipastikan bahwa setiap orang beragama, terutama Islam tergabung dengan ORMAS dan MAZHAB tertentu. ORMAS adalah singkatan dari Organisasi Massa yang bergerak di bidang agama, pendidikan dan sosial. Seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Jami`atul Washliyah dan seterusnya. Sedangkan MAZHAB adalah firqah (kelompok) di bidang fiqh, akidah, Ibadah dan seterusnya. Seperti Fiqh Syafi`i, Hambali, Maliki dan Hanafi, dan Salafi, Wahabi, Sunni, Syiah dan seterusnya.

Sebab kebanyakan orang-orang masuk di dalamnya adalah faktor ikut-ikutan atau keinginan sendiri. Kalau dibaca dengan baik dan benar bahwa keberadaan ORMAS dan MAZHAB adalah umumnya untuk memudahkan anggotanya memahami dan mengamalkan Islam secara utuh (kaaffah).

ORMAS dan MAZHAB itu baik bila anggotanya benar-benar memperhatikan ketentuan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga ORMAS dan kehendak para pendiri MAZHABnya maka tidak ada masalah. Tetapi bila masing-masing ORMAS dan MAZHAB saling mengklaim kebenaran masing-masing dan saling menyalahkan maka disitulah persoalan yang semestinya tidak ada.

Kita mesti paham bahwa para pendiri ORMAS dan MAZHAB niatnya bukan bikin aliran dan menjadikan Islam ini terpecah-pecah. Tetapi karena didasari ijtihad dan situasi ketika berdirinya ORMAS dan MAZHAB yang mengharuskan ada dan memang dibutuhkan ketika itu.

Kini, sebenarnya keberadaan ORMAS dan MAZHAB dirasa sebagai biang perpecahan dan ada yang mengatakan bahwa bagaimana ummat Islam itu bersatu bila selama masih ada ORMAS dan MAZHAB. Padahal keberadaan mereka masih relevan bila tidak ada indikasi perpecahan. Maka persoalannya bukan ada pada ORMAS dan MAZHAB sebenarnya tetapi ada pada orang-orang didalamnya bagaimana menyikapi perbedaan dan cara pandang terhadap keberadaan ORMAS dan MAZHAB.

Tuhan ciptakan perbedaan bukan untuk perpecahan tetapi justru saling melengkapi. Lihat Matahari berbeda dengan bulan, baik dari segi cahaya dan waktu terbitnya. Coba keduanya disatukan maka apa yang terjadi dengan alam ini ?? Hehe

Jadi, yang mesti menjadi perhatian adalah jadikan ORMAS dan MAZHAB sebagai sekolah bagi pengikutnya. Karena yang namanya sekolah pasti di dalamnya ada kegiatan pembelajaran dan naik kelas serta lulus. Kemudian jadikan sebagai Amal Usaha dalam mewujudkan ilmu yang telah dipelajari. Sehingga menjadikan amal tepat sasaran.

Akhirnya, perlu kesadaran yang penuh bahwa keberadaan ORMAS dan MAZHAB itu tujuannya adalah saling melengkapi bukan sebaliknya. Karena di dunia ini tidak ada yang sempurna. Coba Matahari terbit terus menerus maka sudah dipastikan tidak ada yang bertahan lama hidup. Begitu juga bila Bulan terbit terus menerus maka sudah dipastikan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Keduanya saling melengkapi kebutuhan penghuni alam semesta ini (bumi).

Jadikan perbedaan itu rahmat dan bukan menjadi laknat. Wallaahu a`lam

3 Hal utama ini yang mesti dipersiapkan oleh orang tua bila anak dan keluarganya ingin shaleh

Bagi setiap orangtua, pasti berkeinginan anak dan keluarganya yang shaleh. Karena keuntungan memiliki anak dan keluarga yang shaleh adalah;
1. Tidak menyusahkan orangtua dan malah membuat kebanggaan bagi nama besar keluarga
2. Mau mendoakan orangtuanya di kala meninggal dunia.
3. Mau menyambung usaha baik orangtuanya dan hubungan koleganya.

Dan ini juga berdasarkan hadits nabi yang mana isinya adalah "Jika mati anak adam maka terputuslah urusannya dengan dunia, kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang shaleh".

Menjadikan anak yang shaleh bukan mesti menjadi ulama, kiyai dan ustadz. Tetapi apapun profesi anak-anaknya yang tentunya halal maka ada 3 (tiga) hal utama yang mesti dipersiapkan oleh orangtua secara sungguh-sungguh terhadap anak-anaknya agar menjadi anak yang shaleh.

1. Bekali pemahaman dan pengamalan Shalat dan baca Al-Quran
2. Bekali pemahaman dan pelaksanaan fardhu kifayah
3. Bekali pemahaman pembagian harta warisan (Faraidh)


Ketahuan tidaknya anak-anak bagi orangtua itu shaleh atau tidak shaleh bukan hanya ketika orangtuanya masih hidup. Tetapi juga setelah orangtuanya tiada. Dan ini bagi orangtua pasti harap-harap cemas. Mengapa ? Karena setelah mereka tiada, apakah anak-anaknya mau mendoakannya ? bila mau, apakah anak-anaknya mau dengan senang hati melaksanakan fardhu kifayah bagi orangtuanya ? dan yang paling mencemaskan sebenarnya adalah apakah anak-anaknya mau menjalani hukum Allah berupa pembagian harta warisan secara faraidh ?

Nah, bila diperluas makna "doa" anak yang shaleh maka 3 hal utama tersebut di atas semestinya menjadi perhatian utama bagi orangtuanya.

Banyak orangtua mendapatkan anak-anaknya jarang shalat apalagi baca Al-Quran. Banyak orangtua yang ketika meninggal diurus oleh bilal mayyit. Banyak orangtua yang anaknya soal pembagian harta warisan mengutamakan kompromi dan bagi rata. Padahal hukum Allah itu dibuat untuk kepentingan dan manfaat manusia itu sendiri. Tetapi hal ini banyak yang tidak paham dan gagal paham.

Memang, anak adalah amanah Allah yang dititipkan oleh orangtua yang sebenarnya bagi anak tidak menginginkan kehadirannya di dunia. Dan mereka menganggap bahwa kehadiran mereka karena cinta kasih orangtuanya melalui pernikahan. Padahal, siapa saja yang terlahir di dunia dengan selamat dan sehat, sesungguhnya mereka telah mengadakan "perjanjian" dengan Allah bahwa mereka mengakui Allah Tuhan mereka Yang Maha Esa lagi tidak beranak dan tidak diperanakkan dan mereka sanggup menerima amanah untuk berhak hidup di dunia ini (7:172-174). Hanya saja ketika terlahir di dunia ini, seakan-akan mereka merasa tidak pernah melakukan perjanjian dengan Allah. Itu makanya Allah katakan bahwa kebanyakan manusia itu lupa diri lagi lalai.

Maka sudah menjadi kewajiban orangtualah membekali anak-anaknya untuk
1. Selalu menegakkan shalat dan membaca Al-Quran. Karena keduanya mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar (Al-Ankabut:45)

2. Ilmu dan pemahaman tentang fardhu kifayah. Kalau dapat sebelum meninggal lagi masih sehat, suruh mereka bergantian memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan orangtuanya secara praktik. Mungkin hal ini dianggap aneh dan menyelenehkan ? Hehe

3. Ilmu dan pemahaman tentang faraidh. Agar tidak menimbulkan kefasikan terhadap Allah. Dampaknya bila anaknya tidak melaksanakan hukum ini maka sudah dapat dipastikan membuat sedih orangtua di dalam kuburnya. Maka orangtua mesti mendatangkan pakar ahli faraidh untuk menerangkan hal ini dihadapan anak-anaknya dan orangtuanya di kala masih hidup.

Tetapi tentu saja 3 hal utama ini terwujud bagi orangtuanya yang shaleh. Karena keshalehan anak itu kembali kepada keshalehan orangtuanya. Namun tidak sedikit pula orangtuanya shaleh dan sibuk dengan pemahamannya sendiri tetapi seakan enggan menularkan keshalehannya kepada anak-anaknya. Alasannya mungkin nanti mereka akan menyadarinya juga. Begitulah kenyataannya.

Kalau mau mati dengan tenang maka bekalilah anak dengan ilmu dan pemahaman serta pengamalan agama yang utuh. Setelah itu tawakkallah kepada Allah swt. Wallahu a`lam bissowab.

Inilah alasan mengapa nabi tidak memilih langsung siapa penggantinya setelah wafat

Seperti diketahui bahwa sepeninggalan nabi Muhammad saw. maka muncullah Khulafaurrosyidin yang berarti para pengganti sebagai pemimpin ummat yang mendapat petunjuk. Dan orang-orang yang disebut khulafaurrosyidin adalah para sahabat yang terpilih, yaitu Abu Bakar AsSiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib ra.

Mereka terpilih secara musyawarah dan demokratis. Abu Bakar AsSiddiq terpilih berdasarkan musyawarah mufakat, Umar bin Khattab terpilih berdasarkan rekomendasi dari Abu Bakar AsSiddiq sebelum beliau wafat, Utsman bin Affan terpilih berdasarkan musyawarah dan begitu juga dengan Ali bin Abu Thalib. Hanya saja bagi Ali bin Abu Thalib beliau mendapatkan suara yang tidak penuh. Suara ummat terbelah ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukungnya. Dikarenakan peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan agar diusut terlebih dahulu ketimbang memilih pemimpin (khalifah). Dan kalaupun mendesak memilih pemimpin (khalifah) maka yang berhak adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang memang secara hubungan kekeluargaan lebih dekat dengan Utsman bin Affan sebagai sepupunya.

Dan dari sinilah perselisihan antar ummat semakin meruncing dan tidak terelakkan perang saudara. Sampai akhirnya Ali bin Abu Thalib pun terbunuh dan digantikan oleh anaknya Hasan bin Ali. Namun tidaklah lama kepemimpinannya dan hanya sekitar 3 bulan dan kemudian kepemimpinan ummat Islam diserahkan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan maka dimulailah Daulah Islamiyah ala kerajaan (monarki) yang kemudian disebut dengan Daulah Umayyah. Dan dilanjutkan dengan Daulah Abbasiyah sampai dengan Daulah Turki Utsmani yang berakhir pada tahun 1924.

Maka dalam hal ini tentu nabi Muhammad saw pernah mengabarkannya lewat hadits-haditsnya. Apakah itu secara langsung maupun tidak langsung. Seperti hadits nabi dimana beliau mengatakan bahwa pintu fitnah (kekacauan) dimulai dari Umar bin Khattab ra. dan di dalam Al-Quran sangat terang dijelaskan bahwa berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah belah (3:103)

Pertanyaannya, kalau begitu mengapa nabi saw. tidak langsung saja menunjuk Abu Bakar AsSiddiq ra. sebagai penggantinya ? Bukankah peristiwa perselisihan sesama ummat sering terjadi bila nabinya wafat sebagaimana nabi dan rasul sebelumnya ?

Dan memang diantara para sahabat yang lainnya bahwa alasan lebih berhaknya Abu Bakar AsSiddiq menjadi khalifah antara lain adalah :
1. Orang yang mula-mula masuk Islam di kalangan sahabat (AsSabiqunal Awwaluun)
2. Orang yang pertama membenarkan peristiwa Isra` Mi`raj
3. Orang yang paling sering mendampingin nabi kemana saja.
4. Bila nabi sakit maka yang menggantikan beliau menjadi imam sholat adalah Abu Bakar AsSiddiq ra.

Dan 4 alasan inilah terpilihnya Abu Bakar AsSiddiq ra. ketika ummat Islam bermusyawarah sebagai khalifah pertama setelah nabi Muhammad saw. wafat.

Dari berbagai literatur yang penulis baca bahwa ada beberapa alasan logis mengapa nabi tidak memilih langsung soal kepemimpinan untuk ummat Islam setelah beliau tiada.

1. Nabi Muhammad saw. tugasnya memberi kabar gembira bagi orang beriman dan memberi peringatan bagi yang tidak beriman. Artinya kapasitas beliau soal agama. Beliau tidak mau melampaui tugas di luar wewenangnya setelah meninggal dunia. Apalagi alasan ini diperkuat dengan dalil bahwa tugas nabi berakhir dengan turunnya surah Al-Maidah ayat 3.

2. Bila sekiranya nabi menunjuk secara langsung siapa penggantinya maka dampaknya adalah ;
a. Seolah-olah penggantinya adalah otomatis menjadi nabi sebagaimana nabi Musa terhadap sepupunya nabi Harun as.

b. Bila terjadi perselisihan dan kekacauan setelah meninggal beliau maka hal itu diserahkan sepenuhnya (tawakkal) kepada Allah swt. yang lebih berhak menentukan "drama" kehidupan manusia.

3. Bukti bahwa Islam mengutamakan musyawarah mufakat. Karena masing-masing orang adalah pemimpin sebagaimana dalam haditsnya.

4. Nabi percaya bahwa sepeninggalnya ada sekelompok orang yang cerdas dan mengerti persoalan dan apa yang harus dilakukan setelah beliau tiada. Karena 22 Tahun, nabi mendidik para sahabatnya bagaimana mengatasi masalah sesama mereka. Dan nabi paham itu siapa orang-orangnya. Agar tidak menimbulkan kedengkian diantara mereka sebagaimana ummat-ummat terdahulu maka urusan kepemimpinan ummat diserahkan kepada para sahabatnya melalui musyawarah mufakat.

Dengan demikian, semoga artikel ini bisa memberi jawaban mengapa nabi tidak menunjuk langsung siapa pengganti beliau. Dan soal ini sempat menjadi cemoohan orang-orang yang tidak senang terhadap Islam bahwa nabi orang Islam tidak meninggalkan apa-apa.

Padahal sebenarnya nabi memang tidak meninggalkan apa-apa kecuali yang bermanfaat lagi bermutu, yaitu Al-Quran AsSunnah yang menjadi pedoman hidup bagi manusia yang ini hidupnya aman dan sejahtera dunia dan akhirat. Itupun bagi yang mau mengambil ibrah/pelajaran. Wallaahu a`lam bissowab

Hijrah mengingatkan bahwa manusia itu makhluk dinamis dan bukan statis

Manusia adalah makhluk bergerak sebagaimana makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Itu makanya diberi kaki untuk berjalan, berlari dan melompat. Gun...