Tauhid bukan hanya soal keEsaan Zatnya

Sebagai manusia makhlukNya, memang semestinya mengakui keesaan Allah swt. Tiada Tuhan melainkan Dia semata. Dan yang mengakui keesaan Allah hanyalah orang-orang yang beriman dan bertakwa kepadaNya.

Namun soal Tauhid ini bukan hanya soal keesaanNya saja, tetapi menggambarkan Tauhid secara utuh yang telah diterangkan dalam surah Al-Ikhlas. Sebagaimana Allah berfirman;
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

Berdasarkan surah ini bahwa Tauhid itu ada 4 unsur;
1. ZatNya Esa. Zat yang dimaksud bukan benda atau makhluk tertentu. Tetapi ungkapan yang tidak bisa disebut namun mesti diucapkan. Dengan kata lain, bukanlah zat cair dan padat. Tetapi Zat tanpa embel-embel.  Biarkan saja begitu.
2. Segala amal dan permohonan tertuju kepadaNya.
3. Tidak berketurunan seperti layak makhlukNya.
4. Tidak sama dengan makhlukNya dan apalagi tidak ada yang bisa menandingiNya.

Inilah pokok-pokok atau unsur Tauhid yang benar, yang bersumber dari kitabNya Al-Quran.

"bila ingin mempelajari ketauhidan maka jangan langsung melalui orang-orangan atau kitab-kitab “orang-orangan” atau disiplin ilmu Tauhid. Namun pelajari dulu dari sumbernya Al-Quran. Karena Al-Quran berasal dari kalamNya. Dan tidak ada keraguan di dalamnya kecuali bagi orang yang bertakwa."

Maka penulis menyarankan kepada pembaca bahwa bila ingin mempelajari ketauhidan maka jangan langsung melalui orang-orangan atau kitab-kitab “orang-orangan” atau disiplin ilmu Tauhid. Namun pelajari dulu dari sumbernya Al-Quran. Karena Al-Quran berasal dari kalamNya. Dan tidak ada keraguan di dalamnya kecuali bagi orang yang bertakwa.

Tidak sedikit penulis menemukan realita di lapangan bahwa ada sebahagian orang-orangan mempelajari Tauhid malah dari orang-orangan yang dianggap “shaleh” dan “wara`” tanpa mengetahui dahulu dari sumbernya Al-Quran. Akibatnya tidak sedikit dalam pemahaman dan praktiknya malah menyimpang dari ketauhidan itu sendiri.

Dalam hal ini, penulis tidak akan memberikan contoh-contoh yang dimaksud di atas. Dikhawatirkan menimbulkan fitnah dan tuduhan-tuduhan. Biarlah pembaca menebak-nebaknya. Kisi-kisinya sedikit penulis ungkapkan bahwa tidak sedikit dari hasil mempelajari Tauhid dari orang-orangan mengandung unsur “mistis” dan “mengkultuskan” orang-orang yang dianggap “shaleh”, “wali” dan “wara`”. Begitulah lebih kurang yang dapat penulis beri kisi-kisinya. Realitanya begitu.

Padahal kalau mau dilihat bagaimana para penulis dan pengarang kitab Tauhid itu, mereka hafal dan menguasai kandungan Al-Quran sebelum mengarang kitab Tauhid. Mengarang yang dimaksud bukan mengada-ngada, tetapi menguraikan apa yang telah diketahuinya dari Al-Quran.

"Nabi dan para sahabat mengetahui dan memahami Tauhid tidak melalui kitab orang-orangan tetapi langsung dari Al-Quran. Sehingga di tangan mereka peradaban Islam ada dan jaya."

Disinilah dalil sebahagian orang-orangan bahwa untuk apa “capek-capek” mengetahui langsung dari Al-Quran, kan dalam kitab Tauhid sudah ada dalil-dalil Al-Quran. Di satu sisi memang tidak salah anggapan tersebut. Tetapi dari sisi lainnya bermasalah. Dan permasalahannya terkadang dalam kitab tersebut (Ilmu Tauhid) ada pendapat-pendapat penulisnya yang bukan berarti “lancang”, meragukan kapasitas dan kemampuan ijtihadnya. Tetapi alangkah lebih baiknya pembaca membacanya dan apabila dimungkinkan “merevisi” atau “melengkapi” pendapatnya agar khasanah ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai disitu. Karena kalau tidak, jadilah pengekor pendapat tanpa kritis. Padahal Akal, Pendengaran dan Penglihatan dikasih sama oleh Sang Maha Pencipta.

Simpelnya adalah Ayat yang dibaca boleh sama teks dan terjemahannya. Tetapi tafsir boleh jadi sedikit berbeda, sesuai dengan suasana fikiran dan situasi yang ada. Dan hendaknya tradisi keilmuwan yang merupakan bagian dari peradaban Islam yang hari-hari ini semakin redup dan kalah saing dengan umat lain mesti bangkit dan berjaya kembali. Sebagai gambaran jelasnya adalah Nabi dan para sahabat mengetahui dan memahami Tauhid tidak melalui kitab orang-orangan tetapi langsung dari Al-Quran. Sehingga di tangan mereka peradaban Islam ada dan jaya. Walaahu a`lam

Setiap amal hendaknya memperhatikan manfaat dan pahalanya

Judul ini berusaha menguraikan hakikat beramal, dalam hal ini adalah amal shaleh yang dilakoni atas dasar iman. Karena beramal shaleh tanpa iman maka barangkali manfaatnya saja yang didapat. Itupun hanya dinikmati di dunia saja. Dan inilah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman.

Sebagaimana doa orang Islam bahwa setiap akhir doanya ditutup dengan
"Robbanaa aatinaa fid dun yaa hasanatan wa fil aakhirooti hasanatan wa qinaa `adzaa ban naar” . Ya Allah, berilah kami kebahagiaan dunia dan akhirat. Peliharalah kami dari siksa neraka."

Maka atas dasar inilah semestinya beramal hendaknya memperhatikan manfaat dan pahalanya.

Manfaat yang dimaksud adalah dampak positif dan keuntungan yang membawa kebaikan diri dan ummat di dunia ini. Seperti tertolong dan terselamatkannya kondisi anak yatim, fakir miskin, orang-orang lemah dan yang membutuhkan perhatian. Berkurangnya maksiat. Terciptanya keadilan dan kedamaian. Intinya, manfaatnya mendatangkan kebaikan bagi semua orang.

Sedangkan pahala adalah keuntungan akhirat sebagai “tiket” masuk surga. Hal ini sangat jelas bila amal shaleh dengan dasar iman. Dengan iman inilah ada pahalanya. Dan pahala ini mutlak diberikan Allah swt. berbeda dengan beramal shalehnya orang-orang yang tidak beriman, mereka tidak berhak mendapat pahala dan akibatnya sia-sia dan merugi di akhirat.

"Manfaat yang dimaksud adalah dampak positif dan keuntungan yang membawa kebaikan diri dan ummat di dunia ini. Seperti tertolong dan terselamatkannya kondisi anak yatim, fakir miskin, orang-orang lemah dan yang membutuhkan perhatian. Berkurangnya maksiat. Terciptanya keadilan dan kedamaian. Intinya, manfaatnya mendatangkan kebaikan bagi semua orang."

Persoalannya adalah bagaimana yang disebut beramal shaleh yang ada manfaat dan pahalanya ? Adakah amal shaleh itu hanya sekadar mendapat pahala saja ? atau

Idealnya adalah mesti dapat manfaat dan pahalanya bila dikaitkan dengan doa yang dibacakan tadi. Subtansi pada ibadah dan amal shaleh itu dikeluarkan dan dinyatakan.

1. Dengan A-Quran bukan sekadar membaca teks ayat sampai khatam saja. Tetapi berusaha menambahnya dengan mengetahui makna kandungan di dalamnya melalui terjemahan dan tafsirnya. Sehingga Al-Quran benar-benar sebagai pedoman dan petunjuk manusia. Bukan hanya untuk kalangan tertentu.
2. Dengan Shalat awal waktu dan berjama`ah maka yang bersangkutan mampu menghasilkan disiplin waktu dan bekerja serta beribadah, serta tumbuh rasa kebersamaan/ukhuwah. Meskipun beda organisasi sosial, masyarakat dan politik tetapi mempunyai tujuan yang sama dan tidak berpecah belah.
3. Dengan puasa maka kesabaran dan kepedulian sosialnya semakin meningkat
4. Dengan zakat, infak dan sedekah maka berusaha bergiat mencari harta yang banyak lagi halal untuk memenuhi kebutuhan diri dan orang banyak, termasuk keluarganya
5. Dengan haji maka berusaha mempelajari ilmu agama yang selama ini hanya didapat di negerinya yang ada di dalamnya bercampur tradisi setelah mengetahui agama dimana dilahirkan (Makkah Madinah).
6. Dengan berakhlak mulia maka memberi contoh tauladan tanpa dibuat-buat dan minimal mengurangi tingkat amoral di masyarakat.

Sekilas mungkin biasa dan terlalu normatif. Tetapi kalau mau jujur melihat realita di lapangan bahwa semangat beribadah dan beramal shaleh kurang memberi dampak positif di masyarakat. Buktinya kemiskinan semakin tinggi, statistik kemurtadan semakin mengkhawatirkan, kehadiran rumah ibadah kurang berperan untuk kepentingan masyarakat. Bahkan cenderung sepi jama`ah, dan sebagainya.

Padahal bila merujuk kepada nabi dan para sahabat bahwa merekalah yang duluan mengenal Islam dan kemudian di tangan mereka banyak manfaat yang diberikan untuk membuktikan bahwa Islam itu memperadabkan manusia dengan berbagai prestasi-prestasi keummatan dan kebangsaan. Seperti ekonomi Islam mampu bersaing, ilmu pengetahuan berkembang dan bisa disejajarkan dengan orang lain. Hal ini dapat kita lihat di masa-masa, khulafaurrasyidin, kerajaan-kerajaan Islam Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah dan seterusnya.

Jadi, menurut penulis bahwa hari-hari ini sebahagian besar ummat Islam cenderung stagnan bahkan semakin kalah saing dengan orang di luar Islam. Lihat saja pasar global hari ini siapa yang menguasai.

Maka yang mesti dilakukan dan dibenahi adalah hendaknya ummat Islam kembali “bangkit” bersama-sama membangun peradaban yang bukan sekadar beradab di bidang agama saja. Minimal meneladani semangat nabi dan para sahabat dalam membangun peradaban berangkat dari nilai-nilai amal shaleh. Yang mana amal shaleh bukan sekadar rutinitas menghilangkan kewajiban semata tetapi benar-benar bermanfaat di dunia dan berpahala di akhirat. Kata kuncinya ; hilangkan kejumudan (beku) soal agama, disamping merawat hati juga merawat akal. Kalau tidak demikian, maka pantaslah Allah menyuruh memperhatikan bagaimana gambaran orang-orang pendusta agama sebagaimana termaktub dalamm Quran Surah Al-Maaun. Wallahu `alam. 

Alasan Diterima Akal, Kenapa Allah Mengutus Nabinya

Allah berfirman;
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا ﴿٤٨: ٨﴾ 
Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, (Al-Fath: 8)

Berdasarkan ayat ini bahwa tugas rasul itu adalah sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.

  1. Sebagai saksi terhadap sikap dan usaha baik dan buruknya manusia
  2. Sebagai pembawa berita gembira bagi orang yang bertakwa
  3. Sebagai pemberi peringatan bagi orang yang kafir.

"Sederhananya, bumi dianalogikan pada sebuah rumah tangga bila penghuninya cekcok dan tidak ketentraman di dalamnya maka bagaimana mungkin rumah tersebut dikatakan sehat. Malah hancur disana-sini. Pengrusakan oleh pemiliknya karena keseringan bertikai dengan merusak pintu, piring berpecahan dan sebagainya. Ditambah pengusiran oleh tetangga karena dianggap menimbulkan ketidaknyamanan bertetangga. Bahkan boleh jadi rumah tersebut dibakar sebagai bentuk kekesalan warga di sekitarnya. Maka begitupula dengan bumi ini bisa hancur sebab ulah buruk manusia."

Bila ditarik ke belakang sedikit, ketika sebelum nabi diutus oleh Allah swt. bahwa keadaan ummat dalam jahiliyah. Yaitu kebodohan soal keyakinan, ibadah, akhlak dan muamalah.


  1. Soal keyakinan sesat meliputi berkeyakinan selain Allah.
  2. Soal ibadah menyimpang meliputi menyembah selain Allah
  3. Soal akhlak buruk mengakibatkan pertikaian dan pembunuhan
  4. Soal muamalah tidak sehat suburnya kecurangan dan riba

Akibat kebodohan-kebodohan itu maka terjadilah kerusakan keyakinan, ibadah, akhlak dan muamalah. Dan kezaliman dan pembunuhan dianggap biasa dan wajar-wajar saja. Siapa yang kuat maka dialah yang berhak kuasa tanpa pikiran dan tanpa memandang perasaan sesama manusia. Apalagi terhadap Tuhan dianggap tidak ada. Malah hantu bergentayangan

Bila kondisi ini terus-menerus terjadi maka tidak mungkin tidak kiamat besarpun terjadi.

  1. Banyaknya anak perempuan dibunuh mengakibatkan punahnya manusia. Karena tidak ada lagi yang menampung benih dan melahirkan keturunan manusia. Dan ini pernah terjadi juga di masa Nabi Musa as. yang mana pembunuhan terhadap laki-laki. Dan sebelumnya ada pula penyimpangan seksual (perkawinan sejenis) di masa Nabi Luth.
  2. Maraknya penyembahan berhala mengkibatkan alam rusak. Karena dianggap keramat. Sehingga bukan Tuhan yang hadir, tetapi hantu yang bergentayangan.
  3. Maraknya perjudian dan minuman keras mengakibatkan kehilangan akal
  4. Maraknya kecurangan dan riba mengakibatkan kebaikan hilang.

Maka kondisi-kondisi ini sudah cukup syarat untuk terjadinya kiamat besar. Karena kerusakan alam semakin besar dan merata oleh ulah manusia yang sebenarnya sebagai penanggungjawab urusan bumi.

Sederhananya, bumi dianalogikan pada sebuah rumah tangga bila penghuninya cekcok dan tidak ketentraman di dalamnya maka bagaimana mungkin rumah tersebut dikatakan sehat. Malah hancur disana-sini. Pengrusakan oleh pemiliknya karena keseringan bertikai dengan merusak pintu, piring berpecahan dan sebagainya. Ditambah pengusiran oleh tetangga karena dianggap menimbulkan ketidaknyamanan bertetangga. Bahkan boleh jadi rumah tersebut dibakar sebagai bentuk kekesalan warga di sekitarnya. Maka begitupula dengan bumi ini bisa hancur sebab ulah buruk manusia.

Akhirnya, kehadiran nabi sebagai saksi, pembawa berita dan peringatan sudah cukup jelas dan mengandung hikmah yaitu menyelamatkan manusia dan bumi atas kehendak dan izin Allah dari merusak dan kerusakan akibat ulah buruk manusia itu sendiri. Maka pantaslah Allah berfirman;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ ﴿٢١: ١٠٧﴾ 
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiyaa': 107)

Dimanakah "orang lain", ketika nabi dan sahabat menghadapi kafir Quraisy dalam peperangan ?

Bila kita membaca sejarah Islam, perang di masa nabi saw. terjadi setelah hijrah ke yatsrib dan membangun kota yang bernama Madinah setelah adanya piagam Madinah. Disitu nabi bersama ummat Islam dan ada beberapa agama lainnya, seperti Yahudi, Nashrani, Majusi dan lain-lain. Sehingga tercipta toleransi antar ummat beragama. Dan dari disitu nabi sebagai pemimpin negara selain pemimpin ummat (tugasnya sebagai rasul).

Yang menarik, nabi bisa menjadi pemimpin negara di tengah-tengah masyarakat majemuk. Padahal disitu ada orang Yahudi dan Nasharani yang notabene "tidak suka" kehadiran nabi dikarenakan rasul terakhir bukan dari golongan mereka. Pernyataan ini banyak disebutkan di dalam Al Quran.
Boleh jadi karena usulan Piagam Madinah itu atas inisiator nabi sendiri sehingga dipercaya sebagai penanggung jawab yang otomatis sebagai pemimpin negara Madinah. Dan mungkin saja penamaan "negara Madinah" lebih bisa diterima daripada "negara Islam". Alasannya selain bisa diterima, juga Islam itu bukan sekadar merk tetapi seharusnya berisi nilai dan melekat pada setiap sendi kehidupan. Maka sangat janggal bila ada negara syar'i (Islam) dan negara bukan syar'i. Bahkan resikonya lebih besar.

Tidak sedikit penulis melihat bahwa ketika ada negara mengaku "Islam" tetapi malah jauh dari substansinya. Bahkan menariknya tidak sedikit negara yg bukan  "Islam" malah kelihatan Islami. Mungkin letak perbedaannya adalah "gagal melihat" bagaimana nabi saw membangun negara/kota Madinah di tengah kemajemukan dan kesan Islamnya terasa kental ketika itu.

Kembali ke topik semula pada soal Dimanakah "orang lain", ketika nabi & sahabat menghadapi kafir Quraisy dalam peperangan ?

Yang penulis ketahui bahwa awal perang terjadi setelah "pengkhianatan" orang kafir quraisy dalam perjanjian Hudaibiyah. Yaitu perjanjian Masyarakat Madinah khususnya ummat Islam dengan masyarakat Mekkah. Sehingga menjadi asbab nuzul surah At Taubah.

"Upaya "pihak ketiga" mengambil keuntungan ketika ummat ini berkonflik"

Latar belakang perjanjian ini agar nabi dan pengikutnya bisa menunaikan ibadah haji di Makkah yang sebelumnya diboikot oleh orang kafir Quraisy dan menjadi sebab terjadinya hijrah dari Makkah ke Madinah atas perintah Tuhan.

Dan "pengkhianatan" orang kafir quraisy kabarnya atas hasutan pihak ketiga. Yang jelas adalah pihak yang tidak menyukai perjanjian tersebut. Sehingga terjadilah perang pertama, yaitu perang badar. Karena terjadinya di sekitaran bukit badar. Dan akhirnya kemenangan diraih oleh orang Islam. Dan dilanjutkan pada peperangan berikutnya sampai dengan terjadinya Fathu Makkah, dimana ummat Islam menang mutlak dan banyak berbondong-bondong orang kafir Quraisy masuk Islam. Peristiwa ini sebagai asbab nuzul Surah An-Nashr. Sekaligus jelang wafatnya nabi saw .

Maka tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa nabi saw menyebarkan Islam dengan cara perang dan begitu pula dengan para sahabat. Padahal Islam itu agama damai. Bagaimana mungkin dengan cara perang dalam penyebarannya ? Meskipun perang akhirnya dikarenakan tidak ada kata sepakat atau adanya pelanggaran perjanjian/kesepakatan.

Dengan demikian, menurut penulis bahwa selama peperangan terjadi yang terlibat adalah pasukan ummat Islam dengan orang kafir Quraisy. Sedangkan "orang lain" hanya menyaksikan atau menonton perang. Dan boleh jadi mengambil "keuntungan" dari peperangan itu. Begitu pula peperangan yang dialami di masa khulafaurrosyidin dan era kerajaan Islam (Umayyah, Abbasiyah dan seterusnya).

Sayangnya, perihal "orang di luar Islam atau pihak ketiga" tidak begitu detil keterangannya di dalam buku-buku sejarah Islam. Barangkali alasannya masuk akal agar tidak terjadi "tuduhan" yang dapat memicu konfik baru.

Artikel ini diakhiri dengan mengambil ibrah bahwa diakui atau tidak, adanya upaya "pihak ketiga" mengambil keuntungan ketika ummat ini berkonflik. Betullah bahwa "pihak ketiga" itu biasanya setan yang menimbulkan permusuhan. Lihat saja bagaimana pertikaian yang dialami kedua anak Nabi Adam as. (Habil dan Qabil) merupakan hasutan dari setan. Begitupula orang tuanya (nabi Adam as. dan istrinya) juga dihasut oleh setan.

Semestinya ummat segera menyadari ini. Padahal di dalam Al Quran tidak sedikit larangan "Jangan berpecah belah" dan utamakan ukhuwah (persatuan). Dan jangan "gagal baca sejarah" yang hari-hari ini kebanyakan ummat ini "tidak mau" dan "mengabaikan" sejarahnya sebagai orang Islam. Wallaahu a'lam.

Makna kata “JALAN” yang dimaksud di dalam Al-Quran

Setiap umat Islam sholat, di dalamnya membaca Surah Al-Fatihah. Dan membaca Al-Fatihah bagian dari rukun sholat dalam disiplin ilmu Fiqh. Artinya, bila shalat tidak ada di dalamnya membaca surah Al-Fatihah maka shalatnya tidak sah berdasarkan al hadits.

Sesuai dengan judul bahwa di dalam Surah Al-Fatihah ada di dalamnya sebuah ayat yang berbunyi “Ihdinash shiraathal mustaqiim” yang terjemahannya “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.

Awal dan biasanya, penulis tidak mempersoalkan ayat tersebut. Mungkin dianggap tidak perlu dan belum terfikir. Karena ayat tersebut jelas sekali artinya. Barangkali tidak perlu melihat tafsir untuk memahaminya. Dan ayat tersebut dilanjutkan sebagai jawaban dengan ayat “Shiraathal ladziina an`mta `alayhim dst…” yang terjemahannya “yaitu jalan orang-orang yang telah Engka beri nikmat atas mereka (para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang shaleh Q.S. An-Nisa : 69)

Namun selanjutnya, penulis mulai mempersoalkan kata “jalan” dalam ayat itu bukan sebagai bentuk keraguan. Sebab bila ragu terhadap ayat-ayat Allah maka jatuh kepada tidak mengimani Al-Quran. Tetapi untuk memperteguh keyakinan kepada ayat-ayat Allah dengan mengambil hikmahnya, mestilah mempersoalkan teksnya supaya tidak salah paham dan salah amal. Dan sebenarnya tidak sedikit ayat yang justru merangsang yang membacanya untuk mempersoalkan sesuatu agar dapat mengambil hikmah/pelajaran.

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (Ar-Ra'd: 19)

"Kata “jalan” dapat diartikan lebih luas. Sehingga kata “jalan” dapat diartikan macam-macam apakah agama, gaya hidup, cara berfikir, sikap, usaha, syariat, hukum dan sebagainya yang intinya ada yang dituju. Dan untuk mendapatkannya mesti ada “jalan”."

Kata “jalan” di dalam Al-Quran dalam bentuk Ash-Shiroothu, Assubulu, Ath-thariq. Supaya tidak bias, penulis dalam artikel ini memfokuskan hakikat atau hikmah “jalan” ketimbang soal bentuk kata-kata Ash-Shiroothu, Assubulu, Ath-thariq yang pendekatannya kepada Ulumul Quran. Tetapi menekankan kepada pendekatan pemikiran dan pandangan penulis yang boleh jadi terhubung kepada literasi yang terkait.

Bila diperhatikan bahwa kata “jalan” sering diiringi dengan jalan yang lurus dan jalan Allah dalam berbagai ayat. Dan bila dikaitkan dengan ayat 6 Surah Al-Fatihah di awal tadi bahwa penulis mempertanyakan begini, “Mengapa mesti kata "jalan" yang diharapkan petunjuk dari Allah ?” bukan langsung saja kepada “agama” misalnya. Sama halnya dengan ayat yang lain disebutkan “Yad `uuna ilal khoyr” 3:104 dan bukan “yad`uuna ilad diinullah”. Mengingat para rasul “membawa” agama Allah (Al-Islam) kepada ummatnya yang tersesat.

Menurut penulis, inilah diantara kelebihan kata atau kalimat Al-Quran yang kebanyakan “abstrak” ketimbang “konkrit” yang tujuannya adalah memungkinkan untuk menggugah pembacanya “menyelidiki” kandungan makna di dalamnya. Sehingga melahirkan ilmu dan pengetahuan pada cabang-cabang disiplin ilmu pengetahuan. Dan sebagai pembuktian bahwa Al-Quran benar-benar dari Tuhan yang di dalamnya tidak ada keraguan dan kesalahan. Bila ada yang “mempermasalahkan” kebenaran Al-Quran maka sesungguhnya permasalahannya justru ada pada orang yang mempermasalahkannya. Mungkin saja kapasitas akalnya tidak muat untuk masuk kebenaran di dalamnya. Atau memang ragu dan tidak yakin.

Kembali kepada persoalan bahwa hikmah mengapa kata “jalan” lebih sering digunakan ketimbang kata “agama” adalah;
  1. Hidup ini perjalanan waktu dari lahir sampai kembali kepada Allah. Sehingga ada jarak tempuh di dalamnya.
  2. Manusia diberi dua kaki oleh Tuhan untuk berjalan dan diharapkan tidak salah jalan/buntu untuk menuju Surga akhirat. (Sebagai penghubung dunia akhirat mesti ada jalan) dengan kendaraan amal.
  3. Kata “jalan” dapat diartikan lebih luas. Sehingga kata “jalan” dapat diartikan macam-macam apakah agama, gaya hidup, cara berfikir, teori, sikap, usaha, syariat, hukum dan sebagainya yang intinya ada yang dituju. Dan untuk mendapatkannya mesti ada “jalan”.
  4. Kata petunjuk biasanya dirangkai dengan kata jalan (petunjuk jalan). Dan selama diperjalanan mesti melihat “rambu-rambu” agar selamat.
Demikian artikel ini sedikit penulis uraikan. Silahkan ambil kesimpulan. Wallaahu `alam

Mana seharusnya, belajar baca Iqra atau belajar baca Quran ?

Tema kali ini berusaha mengkritisi fenomena "kemunduran" ummat dalam mempelajari dan mengamalkan Al-Quran, terutama soal membaca Al-Quran. Semoga ada tawaran alternatif kebuntuan para Guru Al-Quran terutama yang mana di lapangan bahwa kebanyakan santri memang bisa baca Al-Quran setelah menamatkan "Iqra" atau "Alif-Alif" atau "ANBATA" dan buku-buku metode cepat membaca Al-Quran lainnya.

Di lapangan, banyak penulis menemukan buku-buku metode cepat baca Al-Quran dengan beberapa "merk" yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Hasilnya tidak sedikit santri yang telah menamatkan buku tersebut tetapi kenyataannya kualitas membaca Al-Qurannya masih jauh dari harapan. Sehingga tidak jarang Guru Al-Qurannya kelimpungan memperbaiki bacaan-bacaan santrinya. Sehingga ditambahlah ilmu tajwid. Tetapi lagi-lagi memakan waktu dan kurang efisien.

Akibatnya hampir sebahagian besar orang Islam dari kecilnya sampai dewasa masih berjibaku dengan membaca yang baik dan benar menurut ilmu tajwid agar tidak "berdosa" membacanya. Sebab Al-Quran kalam Allah. Membacanya bernilai ibadah. Parahnya, hadits ini dipahami parsial. Hanya sekadar membaca dan membaca tanpa makna.

Argumen ini bukan atas sentimen pesimis dan meremehkan. Lihat saja bagaimana kondisi ummat hari-hari ini. Apabila Al-Quran itu dibaca dengan sebenar-benarnya membaca maka kualitas ummat pasti tidak kalah saing dengan ummat-ummat lainnya. Bahkan Ummat ini adalah ummat yang terbaik. Tetapi kenyataannya kelihatan "Masa Bodoh" dan "mau dikerjai" oleh orang-orangan. Padahal Allah telah berfirman;

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٣: ١١٠﴾ 
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali-Imran: 110)

Maka bagaimana mungkin menjadi ummat yang terbaik. Sementara membaca kitabNya masih gugup dan gagap. Sebatas teks ayat tanpa makna berarti. Padahal tahapan-tahapan mengimani Al-Quran itu adalah mulai dari membaca teks, membaca terjemahan, membaca tafsir dan asbabun nuzulnya, sampai akhirnya paham makna dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara ummat ini masih berkutat sekitar cara membaca ayat. Parahnya, soal terjemahan dan tafsir urusan pemuka agama. Ummat ngekor saja apa kata mereka. Kenyataannya memang begitu. Siapa yang menguasai bumi Allah saat ini ? Jawab sendirilah.

"Akibatnya hampir sebahagian besar orang Islam dari kecilnya sampai dewasa masih berjibaku dengan membaca yang baik dan benar menurut ilmu tajwid agar tidak "berdosa" membacanya. Sebab Al-Quran kalam Allah. Membacanya bernilai ibadah. Parahnya, hadits ini dipahami parsial. Hanya sekadar membaca dan membaca tanpa makna."

Sebagai perbandingan, lihatlah bagaimana nabi saw. dan para sahabat menerima dan mempelajari Al-Quran. Yaitu dalam bentuk hafalan. Beliau dan para sahabat belum mengenal yang namanya ilmu tajwid dan cara cepat membaca Al-Quran. Nabi saw. menerima Al-Quran dari Malaikat Jibril dalam bentuk hafalan. Bukan tulisan. Kemudian dihafalkan oleh para sahabat. Dan ada yang menuliskannya agar tidak hilang hafalan mereka. Akhirnya dibukukanlah atas usulan Umar bin khattab ra. dan diwujudkan di masa Utsman bin Affan ra. serta disempurnakan pada masa Ali bin Abi Thalib ra. soal baris dan titiknya. Kemudian bermunculanlah ilmu-ilmu Al-Quran di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah sebagai bagian dari peradaban Islam.

Yang ingin penulis katakan bahwa ada "kemandegan" umat ini dalam mengimani Al-Quran. Sepertinya hanya sebatas "menguasai membaca Al-Quran". Mungkin saja yang dikenalkan itu bukan Al-Qurannya dulu. Tetapi "cara bacanya". Lihat di buku-buku itu ayat demi ayat "dipotong-potong". Seakan santri dikenalkan "bahasa arab" rasa Al-Quran. Akibatnya ketika mereka tamat dan membaca Al-Quran masih terbata-bata. Penulis sebenarnya tidak menafikan kehadiran ilmu-ilmu Al-Quran tersebut. Malah sebenarnya disitulah keunggulan agama ini. Kesempurnaanya menghasilkan peradaban melalui disiplin ilmu-ilmu agama dan umum. Tetapi realitanya, tidak dibarengi dengan semangat keilmuan tersebut.

Kalau penulis melihatnya ada dua faktor penyebab kendala santri "lambat" membaca Al-Quran;
1. Faktor Guru
2. Faktor Kebiasaan

Guru kebanyakan masih ada yang malah belum lurus bacaannya. Apa mungkin memang bukan guru Al-Quran atau hasil didikan dari "cara cepat Al-Quran" itu juga.

Kebiasaan yang terjadi rata-rata mempelajari baca Al-Quran mesti melalui buku cara cepat Al-Quran. Ditambah pula pemahaman sempit tentang membaca Al-Quran ibadah dan pahala yang membacanya.

Penulis ingin mengakhiri artikel ini dengan memberi pandangan bahwa ;
1. Sudah saatnya santri itu langsung dikenalkan membaca Al-Quran dengan metode Jibril. Meskipun sebenarnya metode ini ada, tetapi tidak populer. Bahkan sebahagian "mencela" dan tidak efektif. Karena mengajarkan santri "membeo". Padahal bagaimana pula dengan Nabi saw. dan para sahabat ? mereka "membeo" ? . Metode ini bentuknya dibaca ulang oleh gurunya dan diikuti santrinya.

2. Setelah khatam 30 juz, mulailah diajarkan penulisan Al-Quran dan membaca terjemahannya sampai khatam.

3. Setelah itu lanjut kepada baca tafsir dan asbabun nuzulnya serta ilmu-ilmu Al-Quran lainnya.

"Pertanyaannya adalah Apakah santri itu mengimani "Buku IQRA" atau Al-Quran ? Bila Al-Quran maka ajarkan saja langsung Al-Quran itu barulah ajarkan ilmu-ilmu Al-Quran lainnya. Mereka langsung hafal dan khatam Al-Quran."

Akibatnya adalah dari awal santri telah hafal Al-Quran tanpa mesti mengikuti program Tahfidz Al-Quran. Kemudian mereka mengetahui terjemahan dan seterusnya. Sehingga hasilnya boleh jadi hampir menyamakan bagaimana mengimani Al-Quran cara Nabi dan Para Sahabat yang menghasilkan peradaban Islam. Setidaknya ummat hari ini berupaya mengembalikan kejayaan Islam yang dulu pernah ada.

Akhirnya ini hanyalah sebuah pandangan pribadi. Mungkin ada kelemahan dalam tulisan ini. Atau yang membaca artikel ini kurang paham maksudnya. Dan penulis memakluminya.

Pertanyaannya adalah Apakah santri itu mengimani "Buku IQRA" atau Al-Quran ? Bila Al-Quran maka ajarkan saja langsung Al-Quran itu barulah ajarkan ilmu-ilmu Al-Quran lainnya. Mereka langsung hafal dan khatam Al-Quran.

Semoga Bermanfaat. Wallaahu `alam.

Beginilah seharusnya hidup itu

KHUTBAH JUMAT : HIDUPLAH DENGAN SEBENAR-BENARNYA HIDUP

Assalaamu`alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Khutbah pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ .
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ . أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ . بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ .
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ . أَمَّا بَعْدُ .
فَاِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ . وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلعم . وَشَرَّ الْأُ مُوْرِ مُحْدَثَتُهَا . وَ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ . وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٍ . وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ .
Ma`asyiral muslimin jama`ah shalat jum`at rahimakumullah
Bersyukur kita kepada Allah atas segala nikmatNya. Sholawat dan salam, semoga Allah senantiasa mencurahkannya kepada Nabi kita Muhammad saw. Juga kepada keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang senantiasa mengikutinya dengan istiqomah hingga yaumil akhir.

Jama`ah shalat jum`at yang dimuliakan Allah
Dalam kesempatan ini, kembali khatib mengingat diri dan jama`ah agar senantiasa meningkatkan iman dan takwa kepada Allah swt. dengan mentaati segala perintahNya dan meninggalkan segala laranganNya.

Jama`ah shalat jum`at yang dimuliakan Allah
Judul khutbah Jumat hari ini adalah “Hiduplah dengan sebenar-benarnya hidup”. Semoga dengan judul ini, memberikan pemahaman kepada kita tentang hakikat hidup manusia untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar beruntung di dunia dan akhirat kelak.

Jama`ah shalat jum`at yang dimuliakan Allah
Allah swt. berfirman ;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [al-Jumu’ah/62:9].

Jama`ah shalat jum`at yang dimuliakan Allah
Ketika manusia hadir di muka bumi ini, Allah memberikan Tugas dan Fungsinya dalam dua hal;
1. Aktivitas duniawi
2. Aktivitas ukhrawi

"Oleh karena itu, jadikanlah hidup kita ini bermanfaat. Caranya adalah dengan belajar dan bekerja bersungguh-sungguh, berakhlak mulia, solat, mengaji dan puasa jangan tinggal, berzakat jangan lupa, berqurban dan berhaji usahakanlah. Bila bekerja sukses, ibadah mantap maka itulah yang disebut Allah sebaik-baik makhluk (khayrul bariyyah). Seimbangkanlah antara waktu belajar, bermain dan beribadah. Hiasi dirimu dengan akhlak mulia." 


Aktivitas duniawi adalah kegiatan yang berhubungan dengan urusan dunia. Seperti belajar, makan minum, bekerja, menikah dan bermain. Belajar agar manusia itu mengetahui dan cerdas. Makan minum menambah tenaga. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menikah untuk menambah keturunan, dan bermain agar hidup lebih berwarna dan fresh.

Jama`ah shalat jum`at yang dimuliakan Allah
Sedangkan yang dimaksud dengan aktivitas ukhrawi adalah kegiatan yang berhubungan dengan urusan akhirat, yaitu beribadah dan beramal shaleh. Beribadah adalah kegiatan yang berkaitan dengan sholat, puasa, zakat, berqurban dan haji. Sedangkan beramal shaleh adalah kegiatan yang mengandung kebaikan dan ibadah. Seperti bersedekah, menolong orang, kegiatan-kegiatan yang di dalamnya ada nilai kebaikan dan berakhlak mulia.

Jama`ah shalat jum`at yang dimuliakan Allah
Dalam kenyataan hidup bahwa manusia itu dalam beraktivitas, terbagi dalam tiga kelompok;
1. Orang-orang yang hanya mementingkan urusan duniawi saja sehingga dalam urusan ukhrawi diabaikan. Inilah kelompok orang yang tidak beriman. Contohnya orang kafir, orang Islam yang melalaikan urusan akhirat, seperti jarang atau tidak pernah solat, puasa, zakat, haji dan berqurban.
2. Orang-orang yang hanya mementingkan urusan ukhrawi saja sehingga dalam urusan duniawi dianggap tidak penting. Malah berusaha menjauhkan diri dengan alasan takut bersyubhat (terjebak dalam cinta dunia). Orang ini dapat kita lihat di sekitaran rumah ibadah tetapi tidak ada kerjanya. Hari-harinya hanya ibadah saja. Sehingga rezekinya ditanggung orang-orang. Akhirnya tidak jarang mengemis.

Jama`ah shalat jum`at yang dimuliakan Allah
3. Kelompok ketiga adalah orang yang menyeimbangkan dalam urusan duniawi dan ukhrawi. Kerja oke, ibadah jalan terus. Inilah idealnya manusia yang diharapkan Allah swt. Mereka mampu mengkolaborasi atau memadukan antara urusan dunia dan akhirat. Sehingga dalam satu harinya mereka mampu berbagi waktu antara kerja dan ibadah. Dan inilah maksud dari Q.S. Al-Jumu`ah ayat 9 yang khotib bacakan tadi bahwa ketika masuk waktu solat, mereka mampu dan mau berhenti sejenak dari aktivitas dunianya. Mereka sadar betul bahwa Allah memanggilnya untuk solat. Supaya hidupnya berkah. Yaitu kerjanya bernilai ibadah, dan rezekinya berkah, yaitu bertambah kebaikan dan manfaatnya. Dan ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat membangun peradaban dunia.

Jama`ah shalat jum`at yang dimuliakan Allah
Ketahuilah bahwa, dalam tubuh kita ada hak lahir bathin. Hak lahir itu urusan dunia dan hak batin urusan akhirat. Itu makanya tidak perlu heran ketika ada orang kelihatannya sehat dan kaya, tetapi wajahnya kusam dan fikirannya tidak kacau, hatinya gelisah. Karena ia telah melupakan Allah swt. Padahal dirinya itu diciptakan Allah. Maka seharusnya ia segera sadar bahwa dibalik pekerjaannya itu ada peran Allah swt. Allah sebenarnya yang memberi kita ilmu. Allah sebenarnya memberi kita rezeki. Kita hanya disuruh Allah berusaha dan berdoa. Usaha mewakili dunia dan berdoa mewakili akhirat.

Oleh karena itu, jadikanlah hidup kita ini bermanfaat. Caranya adalah dengan belajar dan bekerja bersungguh-sungguh, berakhlak mulia, solat, mengaji dan puasa jangan tinggal, berzakat jangan lupa, berqurban dan berhaji usahakanlah. Bila bekerja sukses, ibadah mantap maka itulah yang disebut Allah sebaik-baik makhluk (khayrul bariyyah). Seimbangkanlah antara waktu belajar, bermain dan beribadah. Hiasi dirimu dengan akhlak mulia.

Apabila kamu lupa diri dan waktu maka dengarkanlah azan itu sejenak, resapi maknanya dan mohonkanlah kepada Allah supaya dibuka fikiran dan hati ini. Atau sering-seringlah hadapkan wajahmu ke kuburan maka kamu akan diingatkan bahwa disitu kelak engkau tinggal. Dan bertanyalah pada dirimu, apakah amalku sudah cukup ? siapkah amalku untuk menjawab soal-soal yang diberikan Malaikat Munkar dan Nakir ? Sementara mulut ini tidak lagi berfungsi di alam barzah sana. Ingat-ingatlah dosa dan kesalahanmu. Berapa banyak kesalahan terhadap orang tua ? berapa banyak kesalahan terhadap guru ? berapa banyak kesalahan terhadap adik, kakak, teman dan tetangga ? berapa banyak kesalahan terhadap dirimu ? Masihkah ingin menipu ? masihkan ingin menyia-nyiakan waktu ? sementara tanda-tanda akhir zaman telah nyata. Nabi Muhammad telah wafat. Perzinahan & perjudian merajalela, gempa dan tsunami terus terjadi di berbagai daerah dan negara. Apakah sudah siap menghadapi kiamat besar ? Manalagi yang engkau dustakan ? Renungkanlah wahai orang-orang yang memiliki akal sehat !

Jama`ah shalat jum`at yang dimuliakan Allah
Demikian yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat.
فَاعْتَبِرُوْا يَااُلِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ .

Khutbah kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ . بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ .
Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا . اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ ، وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ .اللَّهُمَّ اَرنَا الْحَقَّ حَقَّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَاَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلَا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ . رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا . رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ . رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ . وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Siapa sebenarnya yang MERAYU Nabi Adam as. melanggar larangan Allah di Surga ?

Mungkin soal ini bagi sebahagian orang tidaklah penting untuk
dipersoalkan dan dijawab. Karena jawabannya sudah jelas bahwa setanlah yang menggoda dan mengusir keduanya (Adam as. dan istrinya) dari surga setelah mendekati pohon yang dilarang Allah dan memakan buahnya. Hal ini berdasarkan dalil ;
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ [٢:٣٦] 
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".

Secara teks saya imani ayat ini. Tetapi saya tidak sepenuhnya sependapat bahwa setan yang dimaksud di dalam ayat tersebut berupa "syahwat" dan mungkin dalam wujud JIN. Padahal kita tahu bahwa yang berada di surga itu hanyalah mereka berdua, yaitu Adam as. dan istrinya. Berdasarkan dalil;
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ [٢:٣٥] 
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.

Maka menurut penulis bahwa sesungguhnya setan yang menggoda Adam as. itu sejatinya adalah istrinya sendiri. Alasannya;

  1. Mereka (manusia) hanya berdua di surga
  2. Secara tegas bahwa Iblis tidak kembali masuk ke surga setelah diusir Allah setelah pembangkangannya terhadap perintah Allah bersujud (memberi penghormatan) kepada Adam as.
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ [٣٨:٧٧] 
Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, 
      3. Setan dari golongan JIN sudah terbantahkan dari poin nomor 1.

"Maka dengan dalil-dalil tersebut bahwa yang merayu Nabi Adam as. adalah Istrinya. Memang kenyataannya bahwa yang membuat laki-laki tergelincir itukan adalah wanita. Meskipun begitu bukan berarti wanita itu satu-satunya setan manusia. Tetapi siapa saja yang menggoda dan merayu, apakah itu laki atau perempuan baik dari golongan JIN dan MANUSIA bila tujuannya adalah PERMUSUHAN dan DOSA maka setanlah ia. Maka benarlah kata Tuhan bahwa SETAN ITU MUSUH YANG NYATA BAGIMU."

Saya menyadari bahwa pasti ada yang membantah argumen ini bahwa yang benar itu setannya Adam as. ada syahwatnya atau hawa nafsunya. Dan secara logis bisa diterima. Namun syahwat itu biasanya muncul apabila manusia itu berkesendirian. Bila manusia itu sudah lebih dari satu orang, apakah dua, tiga dan seterusnya maka setannya itu adalah orang-orang di sekitarnya. Coba perhatikan ayat berikut ini;
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ ﴿٢: ١٤﴾ 
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". (Al-Baqarah: 14)

Dari teks ayat jelas bahwa syaitan itu adalah manusia dan bisa diajak bercakap-cakap. Bagaimana pula bila setannya dalam bentuk JIN ?

Keyakinan saya bertambah ketika membaca surah An-Naas bahwa Allah berfirman;
مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ [١١٤:٤] 
Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, 
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ [١١٤:٥] 
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, 
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ [١١٤:٦] 
dari (golongan) jin dan manusia. 

Dengan demikian bahwa bila Yang digoda adalah Manusia maka yang menggodanya adalah dari golongan manusia. Dan bila Yang digoda adalah JIN maka yang menggodanya adalah dari golongan JIN pula. Masuk akal !

Maka dengan dalil-dalil tersebut bahwa yang merayu Nabi Adam as. adalah Istrinya. Memang kenyataannya bahwa yang membuat laki-laki tergelincir itukan adalah wanita. Meskipun begitu bukan berarti wanita itu satu-satunya setan manusia. Tetapi siapa saja yang menggoda dan merayu, apakah itu laki atau perempuan baik dari golongan JIN dan MANUSIA bila tujuannya adalah PERMUSUHAN dan DOSA maka setanlah ia. Maka benarlah kata Tuhan bahwa SETAN ITU MUSUH YANG NYATA BAGIMU. Wallaahu `alam.

Inilah prinsip hidup bermanusia

Bila ditanya, "Apa tujuan hidup ini ?" Maka jawabannya ada di dalam Q.S. Al-An`am ayat 162
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [٦:١٦٢] 
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. 

Ayat ini senada dengan Q.S. Adz-Dzaariyat ayat 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥١: ٥٦﴾ 
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzaariyat: 56)

"Yang dimaksud dengan hidup dan mati hanyalah untuk Allah adalah yang bersangkutan rela dan sanggup diatur oleh Allah swt dalam berbagai aspek kehidupan."

    Dengan demikian, jelaslah hidup ini tujuannya adalah hanya untuk Allah swt. Ini berlaku untuk semua. Siapapun orangnya, jenis kelaminnya, rasnya, sukunya, dan bangsanya. Semuanya itu hidupnya hanyalah untuk Allah swt. Hal ini ini disuratkan di dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13
    يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿٤٩: ١٣﴾ 
    Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat: 13) 

    Maka tidak heran bila yang mau meyakini hal ini hanyalah bagi orang yang beriman kepada Allah swt.

    Dan yang dimaksud dengan hidup dan mati hanyalah untuk Allah adalah yang bersangkutan rela dan sanggup diatur oleh Allah swt dalam berbagai aspek kehidupan.
    1. Aspek Keyakinannya bertauhid
    2. Ekonominya halalan thoyyiban
    3. Sosialnya berkeadilan
    4. Politiknya membawa kemaslahatan manusia
    Bila dirinci bahwa Peraturan Allah itu termuat di dalam kitabNya Al-Quran. Yang menjelaskan ayat-ayatNya adalah rasulNya. Dan dalam penjelasannya itu terhimpun dalam AgamaNya, yaitu Islam.

    Jadi, bila manusia itu mengaku Islam maka yang bersangkutan wajib mengikuti apa yang diatur Allah. Tidak bisa separuh-separuh. Bahkan matilah dalam keadaan muslim. Sebagaimana Allah berfirman;
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿٣: ١٠٢﴾ 
    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali-Imran: 102)

    Persoalannya adalah "bagaimana dengan hari-hari ini yang mana bila dibandingkan kehidupan sekarang dengan dimasa nabi saw. jauh berbeda ?" "Bahkan bila dilihat situasinya bahwa menurut sebahagian orang ada beberapa hukum Islam yang tidak relevan katanya bila diterapkan di zaman sekarang. Seperti poligami (banyak wanita muslimah yang tidak setuju dengan alasan klasik), riba tidak dapat dipisahkan dan bahkan "merupakan kebutuhan", bahkan hukum Islam lainnya tidak dapat diterapkan secara utuh, sementara Allah menyeru agar beragama Islam secara kaffah atau utuh di negeri sekuler misalnya ? dan lain sebagainya".

    "Intinya adalah Islam hadir untuk manusia. Dan manusia yang mau menerimanya hanyalah orang yang beriman kepada Allah, malaikatNya, kitabNya, rasulNya, hari akhir dan takdirNya. Yang manfaatnya itu kembali kepada manusia itu sendiri, baik hidup di dunia maupun di akhirat."

    Di satu sisi benar adanya bahwa ajaran Islam itu tidak dapat diamalkan dalam suatu negeri, kota, desa, bahkan dalam rumah sekalipun. Kenapa ? Apa penyebabnya
    1. Memahami Islam secara parsial (setengah-tengah). Sehingga Islam itu dianggap agama eksklusif. 
    2. Kurang mengetahui dan memahami sejarah Islam. Sehingga Islam dianggap agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. nyaris tanpa makna di dalamnya.
    3. Gagal paham aja.
    Secara ringkas bahwa penulis sampaikan bahwa Islam hadir mengeluarkan manusia dari kebodohan beragama dan berakhlak. Yang mana ketika itu sebenarnya manusia sudah beragama. Namun karena terjadinya penyimpangan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. dan diteruskan oleh Nabi Ismail as. Sehingga agama dianggap ritual semata tanpa makna. Akibatnya terjadi penyimpangan ritual agama, akhlak dan berbagai kekacauan di masyarakat.

    Maka dengan hadirnya nabi Muhammad saw. berperan menyadarkan manusia dari kehidupan yang suram (kezaliman). Dan ajaran beliau itu berlaku untuk semua makhluk (jin dan manusia).

    Intinya adalah Islam hadir untuk manusia. Dan manusia yang mau menerimanya hanyalah orang yang beriman kepada Allah, malaikatNya, kitabNya, rasulNya, hari akhir dan takdirNya. Yang manfaatnya itu kembali kepada manusia itu sendiri, baik hidup di dunia maupun di akhirat.

    Tidak mengherankan bila ada segelintir manusia bila ada aturan Allah yang dianggapnya "berat" dan tidak relevan maka sebenarnya yang bersangkutan sedang diuji imannya atau sedang gagal paham terhadap agama yang dianutnya. Walaahu `alam

    Sebelum berdakwah, nabi "diisi pikirannya" oleh Tuhan

    Penulis sadar betul bahwa judul artikel ini bagi sebahagian orang dianggap "kelancangan" dari kebiasaan orang belajar ilmu agama dari yang biasa saja tanpa kritis dan tajam. Karena penulis melihat hari-hari ini ummat diberikan kajian yang biasa saja tanpa ada action yang nyata sebagaimana telah dicontohkan oleh nabi dan para sahabat.

    "Kelihatan sekali bahwa Tuhan menghendaki rasulNya supaya "pintar" menguasai ilmuNya dan sebagai upaya bekal pikiran untuk menghadapi ummatnya yang akan menghadang dan menolak dakwahnya."

    Lihat saja bagaimana nabi saw. membangun "akal sehat" masyarakat Mekkah yang ketika itu larut dalam penyembahan berhala dan amoral. Di Madinah nabi saw. bersama sahabat menjalin kebersamaan antar ummat beragama membangun peradaban manusia. Kemudian dilanjutkan oleh para sahabat "menyempurnakan" teknis beragama dengan prinsip agama yang telah sempurna disampaikan oleh nabi saw. ditandai haji wada` sebelum akhirnya beliau kembali menghadap sang ilahi, Allah swt.

    Menurut sejarah bahwa pada usia nabi Muhammad saw. tepatnya 40 tahun, beliau menerima wahyu Allah melalui Malaikat Jibril as. yang pertama yaitu Quran Surah Al-Alaq ayat 1-5
    Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. 

    Mungkin sebahagian orang tidak menyangka bahwa semestinya nabi saw. menerima perintah dakwah sebagai bukti kerasulannya dan menerima perintah ibadah maghdhah (khusus) dan sebagainya. Tetapi yang diterima nabi pertama kali dari Tuhan justru wahyu IQRA` (bacalah dan kaji dirimu dengan pikiranmu).

    Poin ayatnya adalah nabi dituntut untuk mengisi pikirannya sebelum berdakwah kepada manusia yang ketika itu dalam kondisi jahiliyah (zaman kebodohan dari segi keyakinan dan akhlak). Dimana ayat itu ada perintah baca dan mengenal diri sebelum mendakwahkan orang lain.

    Jauh sebelumnya ketika nabi Adam as. hendak dijadikan Allah sebagai khalifah bumi (petugas bumi) bahwa nabi Adam as. juga diisi pikirannya oleh Allah swt. dengan ilmu pengetahuan. 2:31

    Begitupula dengan nabi-nabi yang lain seperti nabi Ibrahim as ketika beliau bingung mencari Tuhannya sebagai upaya mengisi pikirannya sebelum berdakwah.

    Kelihatan sekali bahwa Tuhan menghendaki rasulNya supaya "pintar" menguasai ilmuNya dan sebagai upaya bekal pikiran untuk menghadapi ummatnya yang akan menghadang dan menolak dakwahnya.

    Dengan demikian, ketahuanlah bahwa Iman itu berdasarkan akal pikiran yang sehat. Hati bagian dari pikiran. Keduanya boleh jadi "translate" bahasa. Meski sebahagian orang menganggap bahwa akal dan hati itu dua anggota tubuh yang terpisah. Padahal bila dibaca dan dipikir dengan jujur maka akal dan hati itu adalah sama.

    Soal beriman tidak beriman itu bukanlah dipikiran. Tetapi kehendak si makhlukNya dengan dasar syahwat bukan nafsu. Karena nafsu adalah jiwa. Ditambah dengan dorongan syaitan yang bertugas menghalang-halangi manusia dari jalan Allah swt.

    Sebenarnya banyak hal bahwa dakwah itu berdasarkan akal sehatnya para sahabat lalu dikembangkan melalui disiplin yang bertujuan mengurai kebenaran kitab Tuhan (Al-Quran) agar ummat mudah memahami dan menerima kebenaran (Tuhan). Bukan melahirkan kebenaran baru. Karena kebenaran itu absolut.

    Maka untuk memantapkan keimanan itu, isilah pikiran dengan mempelajari secara utuh Al-Quran sebagaimana dicontohkan nabi, para sahabat, dan para ulama sebelum kitab-kitab manusia agar hasil akhirnya mengakui dan menerima sepenuhnya kitab Allah swt. sebagai petunjuk manusia. Tetapi hari-hari ini akal pikiran itu "dibunuh" oleh orang2an yang membedakan dengan hati. Wallaahu `alam

    Yang mesti dipahami bagi Generasi Muslim

    Tuhan menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan berpasang-pasangan. 49:13

    Bila ada yang mengaku antara jenis laki-laki dan perempuan maka itu tandanya yang bersangkutan memiliki kelainan jiwa. Bukan kelainan jenis. Dan itu bukan buatan Tuhan, tetapi perbuatannya sendiri. Meskipun ada anggapan sebahagian orang bahwa itu adalah takdir Tuhan. Boleh saja anggapannya itu diterima tetapi tetap saja keliru. Dan mesti diselamatkan jiwanya selama itu bisa.

    Begitulah kebanyakan manusia, ketika soal ini terjadi lalu dikaitkan dengan takdir Tuhan. Seakan-akan yang bersangkutan menerimanya dengan "ikhlas" padahal sebenarnya tidak.

    Soal takdir, memang Tuhan memiliki dua takdir. Yaitu Takdir baik dan takdir buruk. Hal ini berdasarkan dalil dalam hadits Nabi saw. Dari Umar bin Khattab berkata:

    “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat rasululah S.A.W. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha nabi,

    Kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah S.A.W menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, ”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.”
    Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
    Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi S.A.W menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
    Lelaki itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab, ”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi menjawab, ”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
    Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga nabi bertanya kepadaku: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Dia bersabda, ”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.”

    — HR. Muslim no.8

    Di dalam Al-Quran, Allah berfirman;
    Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (An-Nisaa': 79)

    Meskipun disitu kata "nikmat" bila diluaskan maknanya maka ianya dapat disebut "takdir". Bila takdir baik itu nikmat, bila takdir buruk itu adalah musibah.

    "Memang manusia itu ada sifat saling mencintai dan membenci. Dua sifat ini mesti sesuai dengan aturan pakai. Bila tidak, maka yang terjadi over dosis dan offside."


    Dengan demikian, soal jenis kelamin itu sudah jelas bahwa Tuhan telah menetapkan dua jenis kelamin. Yaitu lelaki dan perempuan. Sebagaimana kita ketahui pada manusia awal, yaitu Nabi Adam as. dan istrinya.

    Kemudian yang ingin penulis sampaikan berkaitan dengan yang mesti dipahami oleh Generasi muslim soal pasang-pasangan bahwa Islam hanya mengenal yang namanya pernikahan. Artinya hubungan berlainan jenis hanya bisa dibenarkan lewat pernikahan. Kalaupun ada hubungan hanya sebatas pertemanan. Itupun ada batas dan jaraknya. Dengan tegas bahwa Islam tidak mengenal dan membenarkan pacaran, bahkan tunangan.

    "Bagi para wanita semestinya menjaga dan tau diri bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang mesti dilindungi dari "tangan-tangan" kotor yang berusaha "menjamahnya". Mesti ridho ketika orang tua "mengekang" pergaulan dari para lelaki di luar batas."

    Memang manusia itu ada sifat saling mencintai dan membenci. Dua sifat ini mesti sesuai dengan aturan pakai. Bila tidak, maka yang terjadi over dosis dan offside.

    Dan yang mesti dipahami terutama oleh para wanita bahwa Islam hadir menyelamatkan harkat dan martabat wanita. Yang mana ketika sebelum Islam (masa jahiliyah) bahwa anak perempuan itu dibunuh karena merupakan aib orang tua dan dianggap tidak punya peran sebagaimana lelaki ketika itu.

    Maka tidak terbayang bila Tuhan mentakdirkan Islam tidak turun 1400-an tahun yang lalu maka boleh jadi dunia ini sudah kiamat. Karena keturunan anak cucu adam berhenti disebabkan tidak ada yang lahir dari rahim wanita yang telah dibunuh ketika itu.

    Akhirnya, baik bagi laki-laki dan perempuan bahwa hendaknya wajib memahami bagaimana batasan dalam pergaulan menurut agama yang bertujuan untuk menjaga harkat martabat wanita dan menjaga keturunan. Poinnya adalah ;

    1. Hendaknya laki-laki menahan diri untuk tidak "mendekati" perempuan yang bukan mahramnya sampai yang bersangkutan sudah mampu dan punya nyali untuk menikahi perempuan.
    2. Bagi para wanita semestinya menjaga dan tau diri bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang mesti dilindungi dari "tangan-tangan" kotor yang berusaha "menjamahnya". Mesti ridho ketika orang tua "mengekang" pergaulan dari para lelaki di luar batas.
    3. Ada saling pengertian dan menghormati dari kedua belah pihak bahwa masa depan ummat manusia di tangan mereka berdua. Bila norma agama dipegang teguh maka ada jaminan kelansungan hidup. Sehingga peluang "zina" tidak mampu masuk dalam kehidupan mereka berdua.
    4. Jangan campur baurkan antara kebiasaan masyarakat "barat" yang melegalkan pergaulan bebas.  Seperti perkawinan sejenis dan tidak biasa. Sementara agama secara tegas membatasi pergaulan itu sampai waktunya mereka berhubungan melalui pernikahan yang sah.
    5. Buat prestasi yang membanggakan diri dan orang tua. Seperti prestasi belajar, prestasi keahlian dan bakat. Karena hidup ini adalah perlombaan. Percintaan itu sesaat, prestasi itu akibatnya baik dan menguntungkan diri, keluarga dan bangsa serta agama
    Yang mesti dicamkan adalah Islam menyelamatkan manusia dari "kehewanan" bukan "mengkebiri" manusia. Bila ada yang merasa "dikebiri" kebebasannya maka boleh jadi yang bersangkutan sedang lupa akan fitrahnya sebagai manusia yang dasarnya tidak mau menodai dan dinodai apalagi ternoda. Semoga bermanfaat. Wallaahu `alam.

    Orang Islam wajib mengenal Hari-hari Spesialnya (Hari Raya)

    Hampir setiap tahun, sebahagian ummat ini menyoal dan membahas tentang hari-hari tertentu. Yang sebenarnya "tidak penting" untuk dikaji bagi sebahagian orang yang sudah mengerti soal hari-hari besar ummat Islam atau disebut dengan hari raya.

    Misalnya muncul soal "Apa Hukum memperingati Maulid Nabi ?" "Apa hukum mengucapkan selamat pada hari raya orang lain ?" "Apa hukumnya merayakan Valentine Day?" dan sebagainya.

    Mungkin bagi sebahagian orang lainnya ini soal ini masih relevan dan tidak pernah basi untuk membicarakan bahkan "dinyinyirin" supaya ummat tidak lupa. Bahkan bisa saja ada orang yang "benar-benar" tidak memahami atau membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Karena setiap tahun berapa bayi yang lahir, berapa anak yang beranjak remaja, berapa banyak remaja yang beranjak dewasa dan seterusnya. Sehingga meskipun diulang-ulang dan memang kajian Islam itu tidak ada yang baru sejak Nabi Muhammad saw. wafat. Hanya saja nuansa dan situasinya saja yang berubah-ubah tetapi "substasi" atau isinya tetap sama. Agar ummat ini tidak lupa. Karena kalau sudah lupa maka berangsur-angsur ajaran Islam akan memudar bahkan hilang bila tidak ada lagi yang mau mempelajari dan mengkajinya.

    Hari spesial ummat Islam adalah ditandai itu dengan shalat berjama`ah 2 raka`at dan Peringatan dan perayaan lainnya bertujuan untuk menapak tilas peristiwa yang telah terjadi di masa lalu yang berhubungan dengan sejarah Islam dan selama tidak bertentangan dan mengandung tahayul, khurafat, dan maksiyat.

    Kembali kepada judul artikel kali ini soal Orang Islam wajib mengenal Hari-hari Spesialnya (Hari Raya) yang tujuannya diharapkan menambah khasanah pemikiran dan berusaha mengurai soal-soal yang setiap tahun diulang-ulang agar ummat semakin mudah memahaminya.

    Sepengetahuan penulis bahwa Islam itu terdapat ajaran, tradisi dan nilai.
    1. Ajarannya yang sudah baku yang bersumber dari Al-Quran dan AsSunnah. Seperti Rukun Islam, Rukun Iman dan Ihsan.
    2. Tradisi adalah ritual buatan manusia yang asalnya bukan dari ajaran asli Islam tetapi tradisi itu disisipkan ajaran Islam di dalamnya. Sehingga tradisi itu menjadi unik dan menambah khasanah budaya dan peradaban Islam. Seperti peringatan Maulid, Isra` Mi`raj, perayaan 1 Muharram dan sebagainya.
    3. Nilai Islam adalah substansi (isi) dari ajaran Islam yang merasuk kepada segala aktivitas hidup manusia soal duniawi dan perilaku manusia itu sendiri. Sehingga menjadi identitas sebagai orang Islam. Seperti berdagang dengan jujur, memimpin dengan amanah, berakhlak mulia dan sebagainya.
    Maka soal-soal hari spesial Ummat Islam itu, terbagi pada 2 golongan;
    1. Golongan hari raya. Yaitu Hari Raya Idul Fithri, Hari Raya Idul Adha, Hari Jum`at khusus muslim laki-laki. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Gerhana Bulan dan Matahari juga termasuk hari raya ummat Islam. Dalam hal ini secara tegas ada dimasa Nabi Muhammad saw. dan dilanjutkan oleh para sahabat dan seterusnya.
    2. Golongan peringatan dan perayaan yang termasuk tradisi. Yaitu peringatan Maulid, Isra` Mi`raj, Perayaan 1 Muharram, Tasyakuran dan sebagainya.

    Hendaknya ummat ini mampu membaca situasi bahwa soal toleransi itu ada batasan yang jelas. Tidak perlu terlibat pada acara "orang lain" secara langsung. Dengan membiarkan mereka saja itu sudah termasuk bagian toleransi. Dan jangan pernah latah-latahan dalam acara dan perayaan orang lain. Biarkan saja mereka mengucapkan selamat kepada kita ketika berhari raya. Dan ketika mereka berhari raya, cukup berikan saja senyum bila berpapasan terhadap mereka. Selamatkan akidah kita.

    Akhirnya, penulis menegaskan bahwa untuk memudahkan pemahaman soal hari spesial ummat Islam adalah;
    1. Hari raya Ummat Islam itu ditandai dengan shalat berjama`ah 2 raka`at
    2. Peringatan dan perayaan bertujuan untuk menapak tilas peristiwa yang telah terjadi di masa lalu yang berhubungan dengan sejarah Islam dan selama tidak bertentangan dan mengandung tahayul, khurafat, dan maksiyat.
    Sebagai penutup, hendaknya ummat ini mampu membaca situasi bahwa soal toleransi itu ada batasan yang jelas. Tidak perlu terlibat pada acara "orang lain" secara langsung. Dengan membiarkan mereka saja itu sudah termasuk bagian toleransi. Dan jangan pernah latah-latahan dalam acara dan perayaan orang lain. Biarkan saja mereka mengucapkan selamat kepada kita ketika berhari raya. Dan ketika mereka berhari raya, cukup berikan saja senyum bila berpapasan terhadap mereka. Selamatkan akidah kita. Wallaahu `alam bissowab.

    Sumber Malapetaka itu bukan HARTA, TAHTA dan WANITA

    Sebahagian orang mengatakan bahwa pertengkaran, pertikaian dan peperangan itu bersumber soal HARTA, TAHTA dan WANITA. Mungkin pernyataan ini bisa saja dibenarkan bahkan sebagai pembenaran kasus untuk menguatkan "dalil" bahwa kejahatan itu demi "3 TA" itu.

    "Dari situ jelas kelihatan bahwa sumber malapetaka dan kejahatan manusia itu bukan soal Harta, Tahta dan Wanita. Tetapi soal "syahwat" atau keinginan atau ambisi yang disulut oleh yang namanya SYAITAN untuk memperoleh semua itu."

    Sebagai orang Islam, bila ditelaah lebih dalam bahwa kejahatan itu terjadi dikarenakan berakhlak buruk. Seperti zalim misalnya. Kemudian Tuhan mengharamkan beberapa makanan seperti ANJING dan BABI, DARAH dan seterusnya 5:3

    Lalu, Tuhan menyerukan kepada manusia dan terkhusus kepada orang beriman supaya memakan makanan yang halal dan sehat (halalan thoyyiban) 5:88/2:172/2:168 dst.

    Dari situ jelas kelihatan bahwa sumber malapetaka dan kejahatan manusia itu bukan soal Harta, Tahta dan Wanita. Tetapi soal "syahwat" atau keinginan atau ambisi yang disulut oleh yang namanya syaitan untuk memperoleh semua itu.

    Karena harta itu alat untuk beramal shaleh. Begitupula dengan tahta dan wanita. Jadi harta, tahta dan wanita itu merupakan objek korban dari subjek (manusia) dan prediket (aktivitas pelaku). Maka Tuhan lebih menitikberatkan kepada soal manusia dan cara memperolehnya. Sedangkan objek yang diperoleh ada ciri-ciri yang diharamkan dan dihalalkan.

    Babi dan Anjing bisa jadi halal apabila tidak dimakan dan dijadikan penjaga dan pembersih lingkungan. Begitupula Lembu bisa jadi haram bila memperolehnya dengan cara mencuri, menyembelih tidak atas nama Tuhan dan memakannya pun tidak membaca bismillah.

    Maka kata-kata HARTA, TAHTA dan WANITA hari-hari ini "dikorbankan dan dibunuh" oleh orang-orangan yang barangkali maksudnya baik tetapi cara menyikapinya keliru. Akibatnya tidak sedikit orang tidak berminat dan berusaha menjauh dari "3 Ta" dan memunculkan sifat MALAS dan APATIS. Akibatnya ummat ini "kalah saing" dengan "orang lain" dalam urusan dunia yang mana dunia itu ladang amal dan memanennya di akhirat kelak. Dan sarana/alat amal itu melalui Harta (bersedekah), Tahta (berdakwah), Wanita (Pernikahan).

    "Babi dan Anjing bisa jadi halal apabila tidak dimakan dan dijadikan penjaga dan pembersih lingkungan. Begitupula Lembu bisa jadi haram bila memperolehnya dengan cara mencuri, menyembelih tidak atas nama Tuhan dan memakannya pun tidak membaca bismillah."

    Akhirnya, marilah melihat persoalan itu dengan jujur dan jernih supaya tidak salah paham dan kaprah. Mungkin "paham" penyebab "kemunduran" ummat yang dahulunya sempat berjaya di masa kegemilangannya. Meskipun di dalamnya ada intrik politik yang sebenarnya bagian dari drama kehidupan sebagai pelajaran berharga bagi orang-orang yang berpikir. Sebagaimana peristiwa Nabi Adam as. terjebak oleh bujuk rayu syaitan yang terkutuk terhadap larangan mendekati pohon sebagai ujian yang Allah berikan sebelum menjadi khalifah di bumiNya. Wallaahu `alam

    Ketika pemuka agama "saling berhadapan" dalam pentas perpolitikan

    Pemuka agama adalah orang-orang yang memimpin sekelompok umat beragama dalam menjalankan kegiatan beribadah atau kegiatan keagamaan. Sedangkan politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

    Bila dilihat secara teks bahwa antara Agama dan Politik adalah 2 sisi yang saling bertolak belakang. Dengan kata lain bahwa Agama itu urusan ukhrawi (akhirat), sedangkan Politik itu urusan duniawi.

    Dalam sejarah Islam bahwa agama dan politik itu sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad saw diutus sebagai Nabi Allah. Ketika itu antara agama dan politik itu berjalan sendiri-sendiri. Lihat saja bagaimana kondisi agama dan politik di masa jahiliyah.

    Kemudian, ketika Nabi SAW hadir untuk mengeluarkan manusia dari alam jahiliyah menuju alam hidayah maka kelihatan sekali "perkawinan" antara Agama dan Politik sehingga melahirkan manusia peradaban. Yang sebelumnya kurang atau tidak beradab (baca:biadab). Pernyataan ini dapat dibuktikan ketika Nabi SAW melakukan perjanjian-perjanjian selama berdakwah di Makkah dan di Madinah. Perjanjian Aqobah adalah perjanjian/kesepakatan antar muslim, perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian /kesepakatan antar muslim dengan orang kafir Makkah dan piagam Madinah adalah perjanjian/kesepakatan antar ummat beragama di Madinah. Meskipun akhirnya perjanjian itu dilanggar oleh pihak non muslim dan berakhir dengan perang Badar, Uhud dan sebagainya sampai terjadilah Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah) yang menandai akhir dari periode dakwah Nabi saw.

    "Soal pemuka agama berpolitik sebenarnya sudah dicontohkan oleh nabi saw, para sahabat dan ulama di masa lalu dan di masa kini."

    Nampaknya nabi saw. ingin mencontohkan bagaimana beragama dan berpolitik seharusnya. Beragama tanpa berpolitik bagaikan berzikir tanpa berpikir. dan berpolitik tanpa beragama bagaikan berpikir tanpa berzikir. Karena Agama bicara kebenaran (keyakinan dan akhlak), sedangkan politik bicara kekuasaan.

    Soal pemuka agama berpolitik sekali lagi sebenarnya sudah dicontohkan oleh nabi saw, para sahabat dan ulama di masa lalu dan di masa kini. Hanya saja ketika mereka saling berhadapan dalam urusan politik maka mengingatkan kita kepada peristiwa perang saudara di masa Ali ra. Disitu ada perseteruan antara Muawiyah dan Ali, perang jamal dan shiffin. Akibatnya tidak sedikit kedua kubu menelan jiwa yang notabene adalah muslim. Dan peristiwa itu tidak hanya sampai disitu. Hal itu berlanjut di masa-masa Dinasti Islam. Mulai dari Umayyah, Abbasiyah sampai dengan Turki Utsmani. Semua itu temanya politik. Akhirnya Politik dianggap momok menakutkan dan mesti dijauhi. Bahkan agamapun jadi terkena imbasnya. Karena tidak sedikit soal agama berujung kepada perpecahan (khilafiyah), terutama soal teknis ibadah dan aqidah.

    Maka tidak salah juga ketika ada orang berusaha memisahkan urusan agama dan politik. Apalagi ketika pemuka agama memasuki ranah politik maka labelnya negatif dan mampu merusak citra diri pemuka agama itu sendiri.

    "Akhirnya, ketika pemuka agama saling berhadapan dalam pentas perpolitikan maka menghasilkan "Ijtima` keummatan dan kebangsaan". Sehingga ummat semakin tercerahkan bahwa Agama bukan hanya urusan PAHALA, KEMATIAN, AKHIRAT, SURGA-NERAKA semata tetapi Agama juga "peduli" dalam urusan kemanusiaan dan keduniawiyan. Ini diperlukan AKAL SHOHIH."

    Yang ingin penulis sampaikan adalah bila saja mau membaca dengan jujur tentang sejarah agama dan politik di masa Nabi saw. dan para sahabat bahwa bukan agama dan politiknya mesti disoalkan dan dipisahkan. Tetapi ada masalah pada niat dan cara pelakonnya. Siapapun itu. Apalagi di kalangan pemuka agama ketika berpolitik maka disitulah ladang dakwah yang sesungguhnya. Diharapkan mampu menampilkan nilai-nilai agama dan penyebarannya.

    Namun hari-hari ini agama dijadikan alat politik. Sehingga terjadilah politisasi agama. Padahal politik itu menjadi alat penyebaran agama melalui keadilan dan kemakmuran sebagaimana dicontohkan oleh Nabi saw. dan para sahabat. Meskipun di kalangan sahabat telah terjadi riak-riak politik, itu dikarenakan memang dijadikan pelajaran bahwa dalam diri manusia itu ada sifat jelek merusak dan permusuhan 2:30.

    Akhirnya, ketika pemuka agama saling berhadapan dalam pentas perpolitikan maka menghasilkan "Ijtima` keummatan dan kebangsaan". Sehingga ummat semakin tercerahkan bahwa Agama bukan hanya urusan PAHALA, KEMATIAN, AKHIRAT, SURGA-NERAKA semata tetapi Agama juga "peduli" dalam urusan kemanusiaan dan keduniawiyan. Ini diperlukan AKAL SHOHIH. Sehingga doa "sapu jagat" yang sering diucapkan di akhir doa dapat diwujudkan, yaitu BAHAGIA DUNIA AKHIRAT.

    Demikian tulisan ini, silahkan simpulkan sendiri. Wallaahu `alam.

    Hijrah mengingatkan bahwa manusia itu makhluk dinamis dan bukan statis

    Manusia adalah makhluk bergerak sebagaimana makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Itu makanya diberi kaki untuk berjalan, berlari dan melompat. Gun...