Ketika Dakwah Wahabi dan Salafi dianggap tanpa ilmu (akhlak)

Wahabi dan Salafi adalah firqah (kelompok) dalam Islam yang mendakwahkan Sunnah (tuntunan rasul) dan memberantas Tahayul, Bid`ah dan Khurafat. Sasarannya adalah penyimpangan amalan orang Islam yang dianggap menyelisihi Sunnah dan mempertahankan Bid`ah. Umumnya amalan yang dikoreksi bercampur baur dengan tradisi dan budaya yang tentunya menyelisihi Sunnah. Akibatnya penolakan bahkan penyesatan diterima oleh kedua firqah ini dari orang-orang yang tentu tidak terima amalannya dianggap bid`ah dan sesat.

Yang menolak dakwah mereka adalah yang meyakini bahwa selama ini amalan mereka sudah sesuai Sunnah dan mereka yang membid`ahkan amalannya dianggap lancang dan tidak memenuhi standar keilmuwan meskipun dalil-dalil yang dibawakan dianggap asal comot dan gegabah.

Bagi penulis, terhadap yang menolak bisa saja benar anggapan mereka terhadap Wahabi dan Salafi. Atau bisa saja keliru dan salah kaprah. Begitu juga bagi dakwah Wahabi dan Salafi mungkin juga ada benarnya dan ada juga salahnya.

Anggapan mereka (yang menolak) benar bahwa menghukumi suatu amalan itu mesti ada standar keilmuwan yang mumpuni agar jelas hukumnya.

Dan anggapan mereka (yang menolak) bisa juga keliru bahwa Wahabi dan Salafi dinilai berdakwah tanpa ilmu. Mungkin karena amalannya "diganggu" maka disebutlah demikian. Semestinya sebagai masukan tanpa harus menolak. Tetapi "gengsi" merupakan sifat manusia yang harus dimaklumi bagi Wahabi dan Salafi.

Sedangkan dakwah Wahabi dan Salafi itu ada benarnya ketika orang-orang "merasa nyaman" dengan amalannya selama ini karena "telah dijamin" oleh para ulamanya padahal diantara amalan-amalan itu mungkin saja memang ada menyelisihi sunnah apalagi tidak semuanya tradisi dan budaya itu sesuai dengan ajaran dan nilai Islam. Kalaupun diamalkan oleh ulama terdahulu, bisa saja sebagai "media" dakwah untuk menarik perhatian orang-orang yang baru mengetahui Islam.

Dakwah Wahabi dan Salafi itu bisa saja salah dan keliru ketika penyampaiannya dianggap lancang, tidak pas dan dianggap tidak berilmu. Dan ini bisa sebagai masukan bagi Wahabi dan Salafi bahwa berdakwah tidak mesti mengharap diterima atau tertolak. Karena kewajiban pendakwah hanyalah penyampai sedangkan haq pemberi adalah sang Pemilik Kebenaran.

Perlu diketahui bahwa Soal penolakan dakwah dan pengoreksian amalan itu sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak zaman nabi sudah ada demikian. Tetapi itulah resiko berdakwah yang harus diterima dengan sabar dan lapang dada bagi Wahabi dan Salafi. Mudah-mudahan bisa dimengerti dan dimaklumi.

Maka kehadiran dakwah Wahabi dan Salafi sebenarnya sebagai "warning/peringatan" bagi orang-orang yang menganggap amalannya selama ini benar-benar "pas mantab". Akibatnya orang-orang tadinya hanya terpaku kitab FIQH dan TASAWUF enggan buka kitab TAUHID, TAFSIR dan HADITS menjadi "doyan" membuka ketiganya. Hasilnya tidak sedikit yang tadinya menolak menjadi menerimanya.

Begitulah dinamika dakwah yang bukan hanya sekadar mengajak berbuat baik. Tetapi mengoreksi amalan tidak kalah pentingnya dari sekadar mengajak orang berbuat baik. Karena di luar Islampun orang-orangpun berbuat baik. Hanya saja secara prinsip antara Islam dan di luar Islam ada perbedaan yang cukup signifikan, yaitu dalam aspek Aqidah, Ibadah, dan Muamalah. Sedangkah dalam aspek Akhlak kemungkinan banyak kesamaannya. Kalau agama hanyalah sekadar berbuat baik maka untuk apa Tuhan mengutus para rasulNya ?

Mungkin karena dakwah Wahabi dan Salafi "terlalu vulgar" menghitam putihkan dan menelanjangi amalan-amalan orang yang dianggap bid`ah serta dinilai kurang adab dan cari-cari perkara saja maka disebutlah keduanya berdakwah tanpa ilmu dengan metode comot dan cocokologi. Lagi-lagi ini soal pandang dan perasaan. Walaahu `alam bissowaab

No comments:

Post a Comment

Hijrah mengingatkan bahwa manusia itu makhluk dinamis dan bukan statis

Manusia adalah makhluk bergerak sebagaimana makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Itu makanya diberi kaki untuk berjalan, berlari dan melompat. Gun...