Ketika pemuka agama "saling berhadapan" dalam pentas perpolitikan

Pemuka agama adalah orang-orang yang memimpin sekelompok umat beragama dalam menjalankan kegiatan beribadah atau kegiatan keagamaan. Sedangkan politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Bila dilihat secara teks bahwa antara Agama dan Politik adalah 2 sisi yang saling bertolak belakang. Dengan kata lain bahwa Agama itu urusan ukhrawi (akhirat), sedangkan Politik itu urusan duniawi.

Dalam sejarah Islam bahwa agama dan politik itu sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad saw diutus sebagai Nabi Allah. Ketika itu antara agama dan politik itu berjalan sendiri-sendiri. Lihat saja bagaimana kondisi agama dan politik di masa jahiliyah.

Kemudian, ketika Nabi SAW hadir untuk mengeluarkan manusia dari alam jahiliyah menuju alam hidayah maka kelihatan sekali "perkawinan" antara Agama dan Politik sehingga melahirkan manusia peradaban. Yang sebelumnya kurang atau tidak beradab (baca:biadab). Pernyataan ini dapat dibuktikan ketika Nabi SAW melakukan perjanjian-perjanjian selama berdakwah di Makkah dan di Madinah. Perjanjian Aqobah adalah perjanjian/kesepakatan antar muslim, perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian /kesepakatan antar muslim dengan orang kafir Makkah dan piagam Madinah adalah perjanjian/kesepakatan antar ummat beragama di Madinah. Meskipun akhirnya perjanjian itu dilanggar oleh pihak non muslim dan berakhir dengan perang Badar, Uhud dan sebagainya sampai terjadilah Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah) yang menandai akhir dari periode dakwah Nabi saw.

"Soal pemuka agama berpolitik sebenarnya sudah dicontohkan oleh nabi saw, para sahabat dan ulama di masa lalu dan di masa kini."

Nampaknya nabi saw. ingin mencontohkan bagaimana beragama dan berpolitik seharusnya. Beragama tanpa berpolitik bagaikan berzikir tanpa berpikir. dan berpolitik tanpa beragama bagaikan berpikir tanpa berzikir. Karena Agama bicara kebenaran (keyakinan dan akhlak), sedangkan politik bicara kekuasaan.

Soal pemuka agama berpolitik sekali lagi sebenarnya sudah dicontohkan oleh nabi saw, para sahabat dan ulama di masa lalu dan di masa kini. Hanya saja ketika mereka saling berhadapan dalam urusan politik maka mengingatkan kita kepada peristiwa perang saudara di masa Ali ra. Disitu ada perseteruan antara Muawiyah dan Ali, perang jamal dan shiffin. Akibatnya tidak sedikit kedua kubu menelan jiwa yang notabene adalah muslim. Dan peristiwa itu tidak hanya sampai disitu. Hal itu berlanjut di masa-masa Dinasti Islam. Mulai dari Umayyah, Abbasiyah sampai dengan Turki Utsmani. Semua itu temanya politik. Akhirnya Politik dianggap momok menakutkan dan mesti dijauhi. Bahkan agamapun jadi terkena imbasnya. Karena tidak sedikit soal agama berujung kepada perpecahan (khilafiyah), terutama soal teknis ibadah dan aqidah.

Maka tidak salah juga ketika ada orang berusaha memisahkan urusan agama dan politik. Apalagi ketika pemuka agama memasuki ranah politik maka labelnya negatif dan mampu merusak citra diri pemuka agama itu sendiri.

"Akhirnya, ketika pemuka agama saling berhadapan dalam pentas perpolitikan maka menghasilkan "Ijtima` keummatan dan kebangsaan". Sehingga ummat semakin tercerahkan bahwa Agama bukan hanya urusan PAHALA, KEMATIAN, AKHIRAT, SURGA-NERAKA semata tetapi Agama juga "peduli" dalam urusan kemanusiaan dan keduniawiyan. Ini diperlukan AKAL SHOHIH."

Yang ingin penulis sampaikan adalah bila saja mau membaca dengan jujur tentang sejarah agama dan politik di masa Nabi saw. dan para sahabat bahwa bukan agama dan politiknya mesti disoalkan dan dipisahkan. Tetapi ada masalah pada niat dan cara pelakonnya. Siapapun itu. Apalagi di kalangan pemuka agama ketika berpolitik maka disitulah ladang dakwah yang sesungguhnya. Diharapkan mampu menampilkan nilai-nilai agama dan penyebarannya.

Namun hari-hari ini agama dijadikan alat politik. Sehingga terjadilah politisasi agama. Padahal politik itu menjadi alat penyebaran agama melalui keadilan dan kemakmuran sebagaimana dicontohkan oleh Nabi saw. dan para sahabat. Meskipun di kalangan sahabat telah terjadi riak-riak politik, itu dikarenakan memang dijadikan pelajaran bahwa dalam diri manusia itu ada sifat jelek merusak dan permusuhan 2:30.

Akhirnya, ketika pemuka agama saling berhadapan dalam pentas perpolitikan maka menghasilkan "Ijtima` keummatan dan kebangsaan". Sehingga ummat semakin tercerahkan bahwa Agama bukan hanya urusan PAHALA, KEMATIAN, AKHIRAT, SURGA-NERAKA semata tetapi Agama juga "peduli" dalam urusan kemanusiaan dan keduniawiyan. Ini diperlukan AKAL SHOHIH. Sehingga doa "sapu jagat" yang sering diucapkan di akhir doa dapat diwujudkan, yaitu BAHAGIA DUNIA AKHIRAT.

Demikian tulisan ini, silahkan simpulkan sendiri. Wallaahu `alam.

No comments:

Post a Comment

Hijrah mengingatkan bahwa manusia itu makhluk dinamis dan bukan statis

Manusia adalah makhluk bergerak sebagaimana makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Itu makanya diberi kaki untuk berjalan, berlari dan melompat. Gun...