Di lapangan, banyak penulis menemukan buku-buku metode cepat baca Al-Quran dengan beberapa "merk" yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Hasilnya tidak sedikit santri yang telah menamatkan buku tersebut tetapi kenyataannya kualitas membaca Al-Qurannya masih jauh dari harapan. Sehingga tidak jarang Guru Al-Qurannya kelimpungan memperbaiki bacaan-bacaan santrinya. Sehingga ditambahlah ilmu tajwid. Tetapi lagi-lagi memakan waktu dan kurang efisien.
Akibatnya hampir sebahagian besar orang Islam dari kecilnya sampai dewasa masih berjibaku dengan membaca yang baik dan benar menurut ilmu tajwid agar tidak "berdosa" membacanya. Sebab Al-Quran kalam Allah. Membacanya bernilai ibadah. Parahnya, hadits ini dipahami parsial. Hanya sekadar membaca dan membaca tanpa makna.
Argumen ini bukan atas sentimen pesimis dan meremehkan. Lihat saja bagaimana kondisi ummat hari-hari ini. Apabila Al-Quran itu dibaca dengan sebenar-benarnya membaca maka kualitas ummat pasti tidak kalah saing dengan ummat-ummat lainnya. Bahkan Ummat ini adalah ummat yang terbaik. Tetapi kenyataannya kelihatan "Masa Bodoh" dan "mau dikerjai" oleh orang-orangan. Padahal Allah telah berfirman;
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٣: ١١٠﴾
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali-Imran: 110)Maka bagaimana mungkin menjadi ummat yang terbaik. Sementara membaca kitabNya masih gugup dan gagap. Sebatas teks ayat tanpa makna berarti. Padahal tahapan-tahapan mengimani Al-Quran itu adalah mulai dari membaca teks, membaca terjemahan, membaca tafsir dan asbabun nuzulnya, sampai akhirnya paham makna dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara ummat ini masih berkutat sekitar cara membaca ayat. Parahnya, soal terjemahan dan tafsir urusan pemuka agama. Ummat ngekor saja apa kata mereka. Kenyataannya memang begitu. Siapa yang menguasai bumi Allah saat ini ? Jawab sendirilah.
"Akibatnya hampir sebahagian besar orang Islam dari kecilnya sampai dewasa masih berjibaku dengan membaca yang baik dan benar menurut ilmu tajwid agar tidak "berdosa" membacanya. Sebab Al-Quran kalam Allah. Membacanya bernilai ibadah. Parahnya, hadits ini dipahami parsial. Hanya sekadar membaca dan membaca tanpa makna."
Sebagai perbandingan, lihatlah bagaimana nabi saw. dan para sahabat menerima dan mempelajari Al-Quran. Yaitu dalam bentuk hafalan. Beliau dan para sahabat belum mengenal yang namanya ilmu tajwid dan cara cepat membaca Al-Quran. Nabi saw. menerima Al-Quran dari Malaikat Jibril dalam bentuk hafalan. Bukan tulisan. Kemudian dihafalkan oleh para sahabat. Dan ada yang menuliskannya agar tidak hilang hafalan mereka. Akhirnya dibukukanlah atas usulan Umar bin khattab ra. dan diwujudkan di masa Utsman bin Affan ra. serta disempurnakan pada masa Ali bin Abi Thalib ra. soal baris dan titiknya. Kemudian bermunculanlah ilmu-ilmu Al-Quran di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah sebagai bagian dari peradaban Islam.Yang ingin penulis katakan bahwa ada "kemandegan" umat ini dalam mengimani Al-Quran. Sepertinya hanya sebatas "menguasai membaca Al-Quran". Mungkin saja yang dikenalkan itu bukan Al-Qurannya dulu. Tetapi "cara bacanya". Lihat di buku-buku itu ayat demi ayat "dipotong-potong". Seakan santri dikenalkan "bahasa arab" rasa Al-Quran. Akibatnya ketika mereka tamat dan membaca Al-Quran masih terbata-bata. Penulis sebenarnya tidak menafikan kehadiran ilmu-ilmu Al-Quran tersebut. Malah sebenarnya disitulah keunggulan agama ini. Kesempurnaanya menghasilkan peradaban melalui disiplin ilmu-ilmu agama dan umum. Tetapi realitanya, tidak dibarengi dengan semangat keilmuan tersebut.
Kalau penulis melihatnya ada dua faktor penyebab kendala santri "lambat" membaca Al-Quran;
1. Faktor Guru
2. Faktor Kebiasaan
Guru kebanyakan masih ada yang malah belum lurus bacaannya. Apa mungkin memang bukan guru Al-Quran atau hasil didikan dari "cara cepat Al-Quran" itu juga.
Kebiasaan yang terjadi rata-rata mempelajari baca Al-Quran mesti melalui buku cara cepat Al-Quran. Ditambah pula pemahaman sempit tentang membaca Al-Quran ibadah dan pahala yang membacanya.
Penulis ingin mengakhiri artikel ini dengan memberi pandangan bahwa ;
1. Sudah saatnya santri itu langsung dikenalkan membaca Al-Quran dengan metode Jibril. Meskipun sebenarnya metode ini ada, tetapi tidak populer. Bahkan sebahagian "mencela" dan tidak efektif. Karena mengajarkan santri "membeo". Padahal bagaimana pula dengan Nabi saw. dan para sahabat ? mereka "membeo" ? . Metode ini bentuknya dibaca ulang oleh gurunya dan diikuti santrinya.
2. Setelah khatam 30 juz, mulailah diajarkan penulisan Al-Quran dan membaca terjemahannya sampai khatam.
3. Setelah itu lanjut kepada baca tafsir dan asbabun nuzulnya serta ilmu-ilmu Al-Quran lainnya.
"Pertanyaannya adalah Apakah santri itu mengimani "Buku IQRA" atau Al-Quran ? Bila Al-Quran maka ajarkan saja langsung Al-Quran itu barulah ajarkan ilmu-ilmu Al-Quran lainnya. Mereka langsung hafal dan khatam Al-Quran."
Akibatnya adalah dari awal santri telah hafal Al-Quran tanpa mesti mengikuti program Tahfidz Al-Quran. Kemudian mereka mengetahui terjemahan dan seterusnya. Sehingga hasilnya boleh jadi hampir menyamakan bagaimana mengimani Al-Quran cara Nabi dan Para Sahabat yang menghasilkan peradaban Islam. Setidaknya ummat hari ini berupaya mengembalikan kejayaan Islam yang dulu pernah ada.Akhirnya ini hanyalah sebuah pandangan pribadi. Mungkin ada kelemahan dalam tulisan ini. Atau yang membaca artikel ini kurang paham maksudnya. Dan penulis memakluminya.
Pertanyaannya adalah Apakah santri itu mengimani "Buku IQRA" atau Al-Quran ? Bila Al-Quran maka ajarkan saja langsung Al-Quran itu barulah ajarkan ilmu-ilmu Al-Quran lainnya. Mereka langsung hafal dan khatam Al-Quran.
Semoga Bermanfaat. Wallaahu `alam.
No comments:
Post a Comment