Sesuai dengan judul bahwa di dalam Surah Al-Fatihah ada di dalamnya sebuah ayat yang berbunyi “Ihdinash shiraathal mustaqiim” yang terjemahannya “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Awal dan biasanya, penulis tidak mempersoalkan ayat tersebut. Mungkin dianggap tidak perlu dan belum terfikir. Karena ayat tersebut jelas sekali artinya. Barangkali tidak perlu melihat tafsir untuk memahaminya. Dan ayat tersebut dilanjutkan sebagai jawaban dengan ayat “Shiraathal ladziina an`mta `alayhim dst…” yang terjemahannya “yaitu jalan orang-orang yang telah Engka beri nikmat atas mereka (para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang shaleh Q.S. An-Nisa : 69)
Namun selanjutnya, penulis mulai mempersoalkan kata “jalan” dalam ayat itu bukan sebagai bentuk keraguan. Sebab bila ragu terhadap ayat-ayat Allah maka jatuh kepada tidak mengimani Al-Quran. Tetapi untuk memperteguh keyakinan kepada ayat-ayat Allah dengan mengambil hikmahnya, mestilah mempersoalkan teksnya supaya tidak salah paham dan salah amal. Dan sebenarnya tidak sedikit ayat yang justru merangsang yang membacanya untuk mempersoalkan sesuatu agar dapat mengambil hikmah/pelajaran.
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (Ar-Ra'd: 19)
"Kata “jalan” dapat diartikan lebih luas. Sehingga kata “jalan” dapat diartikan macam-macam apakah agama, gaya hidup, cara berfikir, sikap, usaha, syariat, hukum dan sebagainya yang intinya ada yang dituju. Dan untuk mendapatkannya mesti ada “jalan”."
Kata “jalan” di dalam Al-Quran dalam bentuk Ash-Shiroothu, Assubulu, Ath-thariq. Supaya tidak bias, penulis dalam artikel ini memfokuskan hakikat atau hikmah “jalan” ketimbang soal bentuk kata-kata Ash-Shiroothu, Assubulu, Ath-thariq yang pendekatannya kepada Ulumul Quran. Tetapi menekankan kepada pendekatan pemikiran dan pandangan penulis yang boleh jadi terhubung kepada literasi yang terkait.Bila diperhatikan bahwa kata “jalan” sering diiringi dengan jalan yang lurus dan jalan Allah dalam berbagai ayat. Dan bila dikaitkan dengan ayat 6 Surah Al-Fatihah di awal tadi bahwa penulis mempertanyakan begini, “Mengapa mesti kata "jalan" yang diharapkan petunjuk dari Allah ?” bukan langsung saja kepada “agama” misalnya. Sama halnya dengan ayat yang lain disebutkan “Yad `uuna ilal khoyr” 3:104 dan bukan “yad`uuna ilad diinullah”. Mengingat para rasul “membawa” agama Allah (Al-Islam) kepada ummatnya yang tersesat.
Menurut penulis, inilah diantara kelebihan kata atau kalimat Al-Quran yang kebanyakan “abstrak” ketimbang “konkrit” yang tujuannya adalah memungkinkan untuk menggugah pembacanya “menyelidiki” kandungan makna di dalamnya. Sehingga melahirkan ilmu dan pengetahuan pada cabang-cabang disiplin ilmu pengetahuan. Dan sebagai pembuktian bahwa Al-Quran benar-benar dari Tuhan yang di dalamnya tidak ada keraguan dan kesalahan. Bila ada yang “mempermasalahkan” kebenaran Al-Quran maka sesungguhnya permasalahannya justru ada pada orang yang mempermasalahkannya. Mungkin saja kapasitas akalnya tidak muat untuk masuk kebenaran di dalamnya. Atau memang ragu dan tidak yakin.
Kembali kepada persoalan bahwa hikmah mengapa kata “jalan” lebih sering digunakan ketimbang kata “agama” adalah;
- Hidup ini perjalanan waktu dari lahir sampai kembali kepada Allah. Sehingga ada jarak tempuh di dalamnya.
- Manusia diberi dua kaki oleh Tuhan untuk berjalan dan diharapkan tidak salah jalan/buntu untuk menuju Surga akhirat. (Sebagai penghubung dunia akhirat mesti ada jalan) dengan kendaraan amal.
- Kata “jalan” dapat diartikan lebih luas. Sehingga kata “jalan” dapat diartikan macam-macam apakah agama, gaya hidup, cara berfikir, teori, sikap, usaha, syariat, hukum dan sebagainya yang intinya ada yang dituju. Dan untuk mendapatkannya mesti ada “jalan”.
- Kata petunjuk biasanya dirangkai dengan kata jalan (petunjuk jalan). Dan selama diperjalanan mesti melihat “rambu-rambu” agar selamat.
No comments:
Post a Comment